BACA JUGA:Kejati Sumsel Tetapkan Mantan Sekda Palembang Harobin Mustofa Tersangka Korupsi: Ini Kronologinya
Peran Arie Martharedo yang merupakan pejabat di DPRD Provinsi Sumsel menjadi pertanyaan besar.
Mengapa seorang pejabat dari lembaga legislatif provinsi bisa ikut terlibat dalam proyek eksekutif di tingkat kabupaten?.
Kejaksaan menduga, posisi Arie digunakan untuk "mengawal" pencairan dana dan memastikan proyek tertentu jatuh ke tangan pihak-pihak tertentu, termasuk CV HK, perusahaan yang diwakili oleh Wisnu Andrio Fatra.
Modus Operandi: Mark-Up dan Fee Proyek
Meski penyidikan masih berlangsung, informasi sementara menyebutkan adanya praktik mark-up anggaran dan pemberian fee proyek kepada oknum tertentu sebagai bagian dari modus operandi yang dilakukan.
Hal ini diperkuat dengan bukti berupa dokumen administrasi proyek, percakapan digital, serta bukti aliran dana yang disita oleh penyidik Kejati Sumsel.
“Kami mendalami alur dana dan memverifikasi bukti transfer serta komunikasi antar pelaku. Indikasi fee proyek ini sangat kuat,” ungkap Kasi Penkum Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari SH MH.
Publik Menanti Transparansi dan Penegakan Hukum Tegas
Kasus ini menjadi perhatian luas di Sumatera Selatan, khususnya di Banyuasin, mengingat proyek infrastruktur tersebut menyentuh langsung kepentingan masyarakat.
Banyak warga yang berharap penegakan hukum terhadap kasus ini bisa menjadi titik balik dalam pemberantasan korupsi di sektor pengadaan proyek daerah.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aktivis antikorupsi juga mendesak agar Kejati Sumsel tidak berhenti hanya pada tiga tersangka ini, tetapi juga mengusut jika ada aktor lain yang terlibat, termasuk kemungkinan adanya pejabat legislatif maupun eksekutif tingkat provinsi yang turut menikmati hasil korupsi.
Potensi Hukuman Berat Menanti Para Tersangka
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, para tersangka diancam dengan hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga miliaran rupiah jika terbukti bersalah melakukan gratifikasi dan menyalahgunakan kewenangan jabatan.
Pasal 12B UU tersebut secara tegas menyebutkan bahwa setiap penyelenggara negara yang menerima gratifikasi dianggap sebagai suap apabila tidak dilaporkan ke KPK dalam jangka waktu tertentu.