Salah satu bakery di Jakarta Selatan, misalnya, menjual carabikang dalam kotak eksklusif dengan kemasan elegan.
Harga per potongnya bisa mencapai Rp10.000 hingga Rp15.000, jauh lebih mahal dibanding versi tradisional di pasar yang berkisar Rp2.000–Rp3.000. Meski begitu, minat konsumen tetap tinggi.
“Awalnya kami coba sebagai eksperimen untuk nostalgia. Tapi ternyata responnya bagus, banyak yang ingin mengenalkan kue ini ke anak-anak mereka,” ujar Nadia Lestari, pemilik toko roti tersebut.
Kebangkitan minat terhadap kue tradisional seperti carabikang membuka peluang besar dalam industri kuliner lokal.
Namun, tantangan utamanya adalah menjaga kualitas dan keaslian rasa, sekaligus menyesuaikan dengan selera generasi muda yang lebih terbiasa dengan makanan instan dan praktis.
“Penting sekali untuk melestarikan resep aslinya, tapi juga terbuka terhadap inovasi.
Jangan sampai carabikang hanya jadi ‘hiasan nostalgia’ yang tidak relevan di masa kini,” kata chef William Hartanto, seorang chef muda yang kerap mengangkat makanan tradisional Indonesia dalam kreasinya.
Melalui inovasi, promosi digital, serta peran generasi muda, carabikang memiliki peluang besar untuk tetap hidup dan berkembang di tengah perubahan zaman.
Kue mungil yang sederhana ini tak hanya menggoda dari segi rasa, tapi juga sarat makna dan sejarah budaya yang layak untuk terus dilestarikan.*