Kue koci adalah pengingat untuk selalu rendah hati dan bersyukur,” ujar Sri Wahyuni, seorang pengrajin kue tradisional dari Yogyakarta yang telah 30 tahun menekuni usaha pembuatan kue basah.
BACA JUGA:Kue Lapis : Warisan Kuliner Nusantara yang Terus Bertahan di Tengah Modernisasi
BACA JUGA:Kue Jetik Manis : Warisan Kuliner Tradisional yang Tetap Bertahan di Tengah Modernisasi
Meski banyak jajanan modern bermunculan, permintaan terhadap kue koci tetap tinggi, terutama pada momen-momen spesial seperti bulan Ramadan, Lebaran, atau acara hajatan.
Di pasar tradisional, kue ini masih menjadi primadona, dijual dalam berbagai variasi — dari ukuran mini untuk suguhan hingga versi besar untuk hantaran.
“Setiap hari kami bisa menjual lebih dari 300 kue koci, terutama menjelang akhir pekan.
Pembeli bukan hanya orang tua, tapi juga anak muda yang penasaran dengan jajanan zaman dulu,” kata Lilis, pedagang kue tradisional di Pasar Senen, Jakarta.
Tren kuliner yang mengangkat makanan tradisional ke level yang lebih modern juga ikut mendongkrak popularitas kue koci.
Sejumlah chef dan pelaku UMKM mulai memodifikasi resep klasik menjadi lebih inovatif, seperti menambahkan rasa pandan, cokelat, hingga matcha ke dalam adonan.
Tidak sedikit pula yang mengemas kue ini secara lebih menarik dan menjualnya melalui platform digital.
“Kami ingin membuat kue tradisional lebih relevan dengan generasi muda.
Salah satunya dengan desain kemasan yang menarik dan varian rasa yang lebih beragam,” ujar Dhea, pendiri usaha kue tradisional “KociKita” yang memasarkan produknya secara online.
Meski popularitasnya tetap tinggi, kue koci menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya adalah regenerasi pembuat kue.
Banyak pengrajin kue tradisional yang sudah lanjut usia, sementara generasi muda cenderung enggan melanjutkan usaha tersebut karena dianggap kurang menguntungkan atau terlalu rumit.
“Saat ini, tantangannya adalah mencari tenaga kerja yang mau belajar dan telaten.
Membuat kue koci itu butuh kesabaran, dari proses menyiapkan daun pisang, memasak unti kelapa, sampai membungkusnya,” kata Sri Wahyuni.