“Di balik nasi gandul, ada sejarah, ada nilai kebersamaan, ada teknik memasak yang khas.
Ini bukan sekadar makanan, tapi warisan budaya yang hidup,” ujarnya.
Di tengah gempuran makanan cepat saji dan tren kuliner modern, eksistensi nasi gandul menghadapi tantangan.
Anak-anak muda cenderung lebih tertarik pada makanan viral yang terlihat menarik di media sosial.
Namun, sejumlah pelaku usaha kuliner berinovasi agar nasi gandul bisa tetap diminati.
Beberapa kreasi baru seperti nasi gandul kemasan, nasi gandul instan, hingga nasi gandul dengan tampilan modern mulai bermunculan.
Pemerintah daerah juga mulai memberi perhatian lebih terhadap potensi kuliner lokal sebagai bagian dari promosi wisata.
Festival Nasi Gandul yang diadakan setiap tahun di Pati menjadi ajang bagi pelaku UMKM kuliner untuk unjuk gigi, sekaligus memperkenalkan nasi gandul ke khalayak yang lebih luas.
Nasi gandul bukan hanya soal rasa, tapi juga soal identitas.
Ia mengikat kenangan, membangun kebersamaan, dan menjadi medium pelestarian budaya.
Di tengah arus globalisasi yang terus menggerus tradisi lokal, kuliner seperti nasi gandul layak mendapat tempat istimewa—bukan hanya di meja makan, tapi juga di hati masyarakat Indonesia.*