PALEMBANG, PALPOS.ID - Palembang, kota yang dahulu dielu-elukan sebagai “Venesia dari Timur”, kini terancam kehilangan jantungnya sendiri.
Anak-anak sungai Musi yang sejak abad ke-7 menjadi denyut kehidupan kota, satu per satu lenyap — tertutup beton, berubah menjadi saluran limbah, atau mengering mati.
Di tengah gegap gempita modernisasi, suara sejarah dan lingkungan nyaris tenggelam.
“Palembang itu kota sungai,” tegas Dr. Dedi Irwanto, M.A., sejarawan Universitas Sriwijaya sekaligus Ketua Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass).
BACA JUGA:Luapan Dari Anak Sungai Lalan Terendam 99 KK
BACA JUGA: Tinggal 114 Anak Sungai, Kota Palembang Buat Nama dan Barcode Sungai untuk Telusuri Sejarahnya
Pernyataannya itu ia sampaikan dalam Focus Group Discussion bertema “Sungai: Jejak Sejarah, Realita Hari Ini, dan Masa Depan Kota Palembang” yang digelar Senin (14/7/2025) di Utopia Palembang.
Bagi Dedi, sungai bukan hanya soal air yang mengalir. Sungai adalah nadi kehidupan, ruang budaya, jalur ekonomi, hingga arena diplomasi.
Pada abad ke-17, misalnya, Sungai Tengkuruk menjadi jalur utama menuju Kraton Cinde Belang — pusat pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam.
“Kini sungai itu tinggal nama. Yang ada hanya pasar, beton, dan kemacetan lalu lintas,” ujar Dedi getir.
BACA JUGA:Rawan Banjir, 21 Anak Sungai di Palembang Alami Pendangkalan, Ini yang Dilakukan..
BACA JUGA:Karyawan Perumda Tirta Musi Bersihkan Anak Sungai Kali Bambung
Dalam catatan kolonial Belanda, Palembang memiliki lebih dari 117 anak sungai yang menganyam kota layaknya jala raksasa.
Bahkan jika ditarik ke masa lebih lampau, berdasarkan rekonstruksi peta kuno dan catatan I-Tsing abad ke-7, jumlahnya mencapai 700 sungai besar dan kecil yang memeluk Palembang.
Kolonialisme dan Modernisasi: Awal dari Petaka
Namun, gemilang masa lampau perlahan meredup sejak awal abad ke-20. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menilai sungai justru biang penyakit.