Anak-anak kota pun tak lagi mengenal nama sungai di kampungnya.
“Sungai Aur, Prigi, Sekanak terdengar asing bagi generasi muda. Padahal itu identitas mereka,” ujar Kemas.
Revitalisasi: Harapan yang Masih Samar
Pemerintah Kota Palembang sejatinya tidak sepenuhnya diam. Proyek Sekanak Lambidaro Riverfront diharapkan bisa memulihkan ekosistem dan memoles wajah kota.
Namun menurut Dedi, tanpa kesadaran sejarah dan partisipasi masyarakat, proyek itu hanya akan jadi lanskap tanpa jiwa.
“Restorasi tanpa edukasi hanyalah mercusuar. Indah, tapi hampa,” katanya.
Dukungan lebih konkrit datang dari budayawan sekaligus konten kreator Palembang, Hidayatul Fikri.
Menurutnya, harus segera dibentuk satgas percepatan normalisasi sungai.
Salah satunya dengan memastikan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memblokir penerbitan sertifikat tanah di atas koordinat sungai.
“Kalau tidak diblok, sungai habis. Rumah berdiri di atasnya, air menghilang,” tegasnya.
Ia juga mendesak segera diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang tegas melarang pembuangan sampah ke sungai.
Selain itu, perlu dibuat masterplan khusus transportasi sungai — bukan hanya speedboat wisata, tetapi moda sungai yang terintegrasi dengan pasar tradisional hingga terminal kota.
“Kita ini kota sungai. Kenapa harus selalu macet di jalan darat?” katanya.
Sungai dan Masa Depan Palembang
Dedi Irwanto menegaskan, menyelamatkan sungai bukan sekadar merawat nostalgia.
Ini soal bertahan hidup. Di tengah krisis iklim global, sungai menjadi koridor alami mitigasi banjir, penyimpanan air tanah, dan penjaga suhu kota.
“Kalau sungai hilang, bukan hanya air yang tenggelam, tetapi juga identitas Palembang. Kita akan menjadi kota tanpa jiwa,” katanya.
Kemas pun menambahkan bahwa Palembang sebenarnya memiliki banyak regulasi — dari UU Sumber Daya Air, Perda, hingga Perwali — tapi hukum tanpa penegakan tak lebih dari lembaran kertas.