Wedang Ronde : Kehangatan Tradisi dalam Semangkuk Manis

Di balik uap hangat semangkuk ronde, tersimpan kisah cinta budaya yang terus mengalir dalam setiap suapan.-Fhoto: Istimewa-
Adaptasi Modern Tanpa Kehilangan Identitas
Meski berakar dari tradisi, wedang ronde tak luput dari sentuhan inovasi.
Di era modern ini, banyak kafe dan restoran yang menyajikan wedang ronde dengan gaya kekinian.
Ada yang menambahkan susu, mengganti isiannya dengan cokelat, hingga menyajikannya dalam bentuk frozen dessert.
Namun, bagi para penikmat kuliner tradisional, versi klasik dengan kuah jahe asli tetap menjadi favorit.
“Ronde sekarang ada banyak versi, tapi yang paling enak tetap yang dibuat tradisional, pakai jahe asli dan gula Jawa,” kata Ayu, mahasiswa asal Surabaya yang kerap mencari wedang ronde saat cuaca mendung.
Upaya Pelestarian Warisan Kuliner
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia turut mendorong pelestarian makanan dan minuman tradisional, termasuk wedang ronde.
Melalui berbagai festival kuliner, pelatihan UMKM, dan promosi digital, wedang ronde diperkenalkan sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang perlu dijaga.
“Kuliner seperti wedang ronde adalah identitas bangsa. Kita ingin anak muda tetap mengenal dan mencintai makanan warisan nenek moyang mereka,” ujar Nia Niscaya, Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf.
Tak hanya di Indonesia, wedang ronde kini mulai diperkenalkan di berbagai negara melalui diaspora Indonesia dan restoran Asia.
Kehadirannya di kancah internasional menjadi bukti bahwa kuliner tradisional pun bisa mendunia tanpa kehilangan jati dirinya.
Wedang ronde, lebih dari sekadar minuman penghangat tubuh, adalah cermin budaya yang mengandung nilai-nilai kebersamaan, tradisi, dan kelezatan.
Di balik uap hangat dan manisnya kuah jahe, tersimpan cerita panjang yang mengikat masa lalu dan masa kini dalam satu mangkuk sederhana yang menggugah rasa.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: