Ketika Cinta Budaya Mengalahkan Hitungan Untung Rugi: Kisah Pendayung Bidar Palembang

Ketika Cinta Budaya Mengalahkan Hitungan Untung Rugi: Kisah Pendayung Bidar Palembang

Jaka dan timnya saat menerima piala sebagai juara pertama pada lomba bidar 2025-erika/palpos.id-

Kini, lomba bidar tampil dalam dua bentuk. Pertama, perahu bidar prestasi, yang memiliki panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm, lebar 1,2 meter, dengan 24 awak—22 pendayung, satu juragan, dan satu tukang timba air. Perahu jenis ini biasanya diperlombakan pada 17 Juni, bertepatan dengan Hari Jadi Kota Palembang.

Kedua, perahu bidar tradisional, dengan ukuran lebih besar: panjang 29 meter, tinggi 80 cm, lebar 1,5 meter, serta 57 awak. Perahu ini menjadi ikon lomba setiap Agustus, dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI.

Bagi masyarakat Palembang, lomba bidar bukan sekadar adu cepat. Ia adalah perayaan identitas, pertautan sejarah, dan ajang kebersamaan lintas generasi.

BACA JUGA:Wagub Cik Ujang Tegaskan Integritas ASN sebagai Pilar Tata Kelola Pemerintahan Bersih

Antara Tradisi dan Tantangan

Namun, menjaga tradisi tidaklah mudah. Biaya perawatan perahu, honor pendayung, hingga persiapan lomba membutuhkan dana besar. Sayangnya, hadiah yang diberikan sering tak sebanding.

“Kalau hanya mengandalkan hadiah, kami tidak bisa bertahan. Semua ini murni karena cinta dan tanggung jawab untuk menjaga budaya,” ujar Jaka, menegaskan.

Pernyataan itu menggambarkan realitas banyak pecinta bidar. Mereka rela berkorban, bahkan merugi, demi menjaga agar tradisi ini tidak hilang ditelan zaman.

Harapan untuk Masa Depan

Meski penuh tantangan, harapan tetap tumbuh. Komunitas pendayung berharap pemerintah bisa lebih serius memberi dukungan. Tidak hanya soal hadiah, tapi juga promosi agar bidar menjadi daya tarik wisata. Dengan begitu, peserta dari luar daerah bahkan luar negeri bisa ikut meramaikan.

BACA JUGA:Bupati H.M. Toha Tohet, S.H Dorong Percepatan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Kebun Sawit Masyarakat

“Bidar ini unik, tidak semua daerah punya. Kalau dikemas dengan baik, bisa jadi magnet wisata Palembang,” kata Jami.

Di sisi lain, Jaka dan timnya tetap konsisten membina generasi muda. Mereka ingin anak-anak Palembang tumbuh dengan rasa bangga terhadap warisan leluhur.

“Kami ingin bidar tetap ada sampai anak cucu nanti. Sungai Musi harus tetap hidup dengan tradisi ini,” katanya.

Pahlawan Budaya di Tepian Musi

Kisah Jaka bukan hanya tentang kemenangan di lomba. Ia adalah cerminan perjuangan untuk menjaga denyut tradisi di tengah arus modernisasi.

Meski hadiah tak sepadan, meski biaya kerap lebih besar daripada pemasukan, Jaka dan para pendayung lainnya tetap setia mendayung.

Mereka bukan sekadar atlet atau pengrajin perahu, melainkan pahlawan budaya yang memastikan bidar tetap melaju di Sungai Musi—dari masa kesultanan, kolonial, hingga Palembang modern hari ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: