Perbedaan pandangan politik dan ideologis antara Barat dan Timur Tengah menciptakan tantangan tersendiri.
Amerika Serikat menetapkan persyaratan ketat sebelum menyetujui penjualan F-35.
Calon pembeli harus melalui evaluasi yang mendalam terkait rekam jejak mereka, terutama dalam hal kepatuhan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan aspek geopolitik yang mempengaruhi stabilitas kawasan.
BACA JUGA:TNI AU Luncurkan Program Ambisius: Misi AWACS dan Keterlibatan PTDI dalam Proyek Revolusioner
BACA JUGA:Super Rafale F5: Persaingan Varian Terbaru yang Menggetarkan di Arena Jet Tempur Global
Sebagai contoh, Uni Emirat Arab berhasil mengakuisisi 50 unit F-35 dan delapan belas unit drone MQ-9 Reaper senilai 23 miliar dolar AS pada tahun 2021 saat Donald Trump masih menjabat sebagai presiden AS.
Namun, perjanjian tersebut berkaitan erat dengan inisiatif Abraham Accords yang mendorong normalisasi hubungan diplomatik antara Uni Emirat Arab dan Israel.
Namun, keputusan Uni Emirat Arab untuk menolak kerja sama dengan Huawei di bidang telekomunikasi mengubah dinamika.
BACA JUGA:Terbang Tinggi Bersama Surion: Korea Selatan Akan Tinggalkan Black Hawk
BACA JUGA:CZ 805 BREN: Senapan Serbu Elite yang Merajai Lautan - Pilihan Kopaska dan Marinir
AS khawatir bahwa jaringan 5G Huawei dapat dimanfaatkan untuk mengakses celah keamanan F-35, mengakibatkan pembatalan perjanjian tersebut.
Qatar juga menghadapi rintangan serupa ketika berusaha membeli F-35. Dugaan dukungan terhadap pasukan Hamas dalam konflik di Jalur Gaza menjadi alasan penolakan AS.
Dengan demikian, kebijakan luar negeri dan politik regional berperan besar dalam menentukan kesuksesan atau kegagalan suatu negara memperoleh F-35.
BACA JUGA:Tank Harimau: Kekuatan Futuristik yang Siap Mengejutkan Dunia Militer!
BACA JUGA:Elang Penempur 50 Tahun Lalu: Momen Kecil yang Melahirkan Legenda Jet Tempur F-16
Arab Saudi menemui batu sandungan yang unik dalam upayanya untuk memperoleh F-35. Persyaratan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel menjadi syarat mutlak.