Koteka dipakai di bagian vital pria dengan bantuan tali di kiri dan kanannya agar tidak mudah lepas.
Bagi laki-laki yang masih lajang, koteka dipakai dengan posisi tegak lurus ke atas.
Sementara bagi yang sudah menikah atau memiliki status sosial yang tinggi, koteka dipakai dengan posisi ke atas dan miring ke kanan.
BACA JUGA:Eksploitasi Kehidupan Suku Korowai di Pedalaman Papua: Dari Rumah Pohon Hingga Perubahan Lingkungan
BACA JUGA:Pemekaran Papua: Provinsi Papua Utara dan Papua Timur Menuju Otonomi Baru
Ukuran koteka tidak selalu menjadi indikator status, sebagaimana yang banyak dipercayai.
Ukuran koteka dipilih berdasarkan aktivitas yang sedang dilakukan.
Koteka pendek digunakan saat bekerja dan aktivitas sehari-hari, sedangkan koteka panjang digunakan untuk acara-adat.
Koteka yang digunakan oleh satu suku dapat berbeda dengan koteka yang digunakan oleh suku lainnya.
Sebagai contoh, suku Yali lebih menyukai bentuk labu yang panjang, sementara suku Triom biasanya menggunakan koteka yang terbuat dari dua labu.
Pada tahun 1950-an, penduduk pribumi Papua mulai mendapatkan sosialisasi tentang penggunaan celana pendek sebagai pengganti koteka agar menutupi bagian vital secara lebih menyeluruh.
Namun, perubahan ini tidak berjalan mulus. Sebagian penduduk memilih untuk tetap mempertahankan koteka, sementara yang lain mulai mengenakan celana pendek.
Secara perlahan, penggunaan koteka mulai dibatasi, terutama di tempat-tempat umum seperti sekolah, terminal, dan kantor.
Bahkan, baru-baru ini, penggunaan koteka dilarang di ruang sidang pengadilan. Saat ini, koteka lebih sering diperjualbelikan sebagai cinderamata bagi wisatawan.
Meskipun demikian, penggunaan koteka masih dapat ditemui di wilayah pegunungan Papua, seperti di Wamena.
Bagi wisatawan yang ingin berfoto dengan penduduk yang menggunakan koteka, biasanya perlu membayar sejumlah uang sebagai bentuk kesepakatan.