Dalam konteks ini, Supratman menyerahkan sepenuhnya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu untuk menangani polemik mengenai materi muatan UU Pilkada.
Menurutnya, setelah RUU Pilkada disahkan menjadi undang-undang, otomatis akan menjadi pijakan hukum bagi pelaksanaan pilkada.
BACA JUGA:Hakim MK Putuskan Usia Minimum Calon Gubernur dan Wakil Gubernur 30 Tahun: Bagaimana Nasib Kaesang?
"Jika undang-undang ini sudah diundangkan, maka itu akan menjadi dasar hukum untuk semua langkah dalam rangka pencalonan pilkada," kata Supratman.
Dilema KPU dalam Menjalankan Putusan
Seiring dengan pengesahan revisi UU Pilkada oleh DPR, bola panas kini berada di tangan KPU sebagai regulator teknis pemilu.
KPU dihadapkan pada dilema untuk mematuhi putusan MK atau mengikuti undang-undang baru yang disahkan oleh DPR.
Tantangan ini bukan hanya terkait dengan teknis pelaksanaan, tetapi juga menyangkut integritas dan kepatuhan KPU terhadap konstitusi.
BACA JUGA:Netralitas Pilkada Tanggung Jawab Bersama
BACA JUGA:OSO Kembali Terpilih Ketua Umum Hanura: Prioritas Pilkada 2024 dan Kesejahteraan Daerah Jadi Sorotan
Dalam hal ini, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, memberikan pandangan kritis terhadap tindakan DPR dan KPU.
"KPU harus memilih, apakah akan mengikuti putusan MK atau revisi undang-undang. Di sini kita bisa mengukur apakah KPU akan menjadi pembangkang konstitusi atau justru menjadi penjaga konstitusi," tegas Bivitri.
Menurut Bivitri, putusan MK bersifat final dan mengikat. Ia mengingatkan bahwa setiap tindakan yang bertentangan dengan putusan MK merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Dalam pandangannya, revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR berpotensi melanggar prinsip konstitusionalitas.
BACA JUGA:Pilkada DKI Jakarta 2024: Kemunculan Duet Anies-Rano Karno Saingi Ridwan Kamil