Revisi UU Pilkada oleh DPR: MenkumHAM Supratman Andi Agtas Tegaskan Bukan Pembangkangan terhadap Konstitusi

Kamis 22-08-2024,07:33 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Yen_har

BACA JUGA:PDIP Usung 610 Kepala Daerah di Pilkada 2024: 54 Persen Kader Internal, Golkar Dominasi Koalisi 10 Persen

"Jika KPU memilih untuk mengikuti revisi UU Pilkada, maka itu bisa dianggap sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Saya kira ini semua sudah menjadi semacam dagelan, pembangkangan konstitusi yang luar biasa," ujar Bivitri, yang juga pendiri Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Polemik Revisi UU Pilkada dan Keberlanjutan Demokrasi

Polemik mengenai revisi UU Pilkada ini tidak hanya berkutat pada aspek hukum, tetapi juga menyentuh esensi keberlanjutan demokrasi di Indonesia. 

Kritik keras datang dari berbagai pihak yang khawatir bahwa perubahan ini dapat merusak mekanisme demokrasi yang telah diatur dengan jelas dalam konstitusi.

Polemik ini bermula ketika DPR memutuskan untuk merevisi UU Pilkada pasca putusan MK yang menetapkan batas usia minimal calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan. 

BACA JUGA:Pilkada DKI Jakarta 2024: Protes Anies Baswedan dan Kejanggalan Verifikasi Dukungan Paslon Dharma-Kun

BACA JUGA:Airlangga Hartarto Mundur dari Ketum Golkar: Arah Dukungan Partai Beringin Dalam Pilkada Bisa Berubah

Putusan ini sebenarnya bertujuan untuk memperketat proses seleksi calon kepala daerah agar lebih berkualitas. 

Namun, langkah DPR yang justru merevisi UU tersebut dianggap oleh sebagian pihak sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan politik tertentu.

Bivitri Susanti: Revisi UU Pilkada sebagai Pembangkangan Konstitusi

Bivitri Susanti secara tegas menyatakan bahwa revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. 

Ia menegaskan bahwa putusan MK seharusnya dihormati dan diikuti oleh semua pihak, termasuk DPR dan KPU.

"Putusan MK adalah final dan mengikat. Ketika DPR merevisi UU Pilkada untuk meniadakan putusan MK, itu sama saja dengan mengabaikan konstitusi. DPR dan pemerintah seharusnya tidak membuat undang-undang yang bertentangan dengan putusan MK," jelas Bivitri.

Ia menambahkan bahwa KPU sebagai lembaga independen memiliki kewajiban untuk menjaga konstitusi. 

KPU, menurutnya, harus menolak undang-undang yang bertentangan dengan putusan MK dan menjalankan aturan yang konstitusional.

Kategori :