Namun, menurut pihak kuasa hukum Jokowi, langkah Roy dan tokoh-tokoh lain yang menyebarkan isu tersebut tidak dapat dibiarkan tanpa pertanggungjawaban hukum, apalagi jika informasi yang disebarkan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun yuridis.
Salah satu pertanyaan publik yang muncul adalah mengapa Jokowi baru melaporkan kasus ini setelah lengser dari jabatannya sebagai presiden.
Menjawab hal tersebut, Jokowi menjelaskan bahwa saat dirinya masih menjabat, ia memilih untuk fokus menjalankan pemerintahan.
“Dulu saya pikir setelah saya pensiun, tuduhan itu akan berhenti. Ternyata tidak. Karena masih berlanjut dan bahkan makin menjadi-jadi, maka saya rasa perlu diambil langkah hukum. Biar semuanya jelas dan terang benderang,” ungkap Jokowi.
Ia juga menyampaikan bahwa langkah ini bukan semata-mata demi kepentingan pribadi, tetapi juga sebagai bentuk edukasi hukum dan pembelajaran publik tentang pentingnya tanggung jawab atas setiap pernyataan di ruang digital.
Menanggapi suara-suara yang menuduh Jokowi melakukan kriminalisasi terhadap peneliti atau aktivis, ia menegaskan bahwa langkahnya bukan untuk membungkam kritik.
“Ini bukan kriminalisasi. Ini klarifikasi lewat jalur hukum. Biarkan pengadilan yang membuktikan semuanya,” katanya.
Jokowi juga meminta masyarakat tidak langsung memvonis, baik terhadap dirinya maupun pihak yang dilaporkan.
“Semua punya hak untuk membela diri. Mari kita hormati proses hukum,” ujarnya menutup pernyataan.
Beberapa pakar hukum pidana dan tokoh akademik turut angkat suara atas laporan tersebut.
Dosen Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Andi Syahrir, mengatakan bahwa tindakan Jokowi sah secara hukum jika memang ada indikasi kuat terjadi pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.
“Jika seseorang menyebarkan tuduhan serius seperti pemalsuan ijazah tanpa bukti, itu bisa masuk dalam kategori fitnah atau hoaks, apalagi jika dilakukan secara sistematis dan viral di media sosial,” jelas Andi.
Senada, pengamat media digital, Rita Nurmala, mengatakan bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa dunia digital tidak bebas nilai.
“Setiap konten digital punya konsekuensi hukum. Kebebasan berekspresi harus dibarengi dengan akuntabilitas,” ujar Rita.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Arie Wibowo, menilai bahwa kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam sejarah demokrasi digital di Indonesia.
“Ketika mantan presiden pun menempuh jalur hukum untuk menjaga nama baiknya, ini menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal hukum, baik pelapor maupun terlapor. Ini bisa jadi pelajaran penting bagi masyarakat pengguna media sosial,” ujarnya.