Risiko Global Bisa Naik Lagi, Yield SBN Berpotensi Melonjak
Kondisi pasar keuangan global saat ini relatif stabil. Meredanya tensi geopolitik dan ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed memberi angin segar pada pasar obligasi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun, Badiul menilai ketenangan ini bisa bersifat sementara.
BACA JUGA:Rumah BUMN Jadi Jembatan UMKM Lokal Promosikan Sambal Cita Rasa Khas Indonesia ke Mancanegara
BACA JUGA:OPPO Find X8 Pro Resmi Dirilis di Indonesia: Kamera Hasselblad, AI Canggih, dan Performa Kelas Atas
Ia mengingatkan bahwa potensi kenaikan suku bunga global masih terbuka, terutama jika inflasi di negara maju kembali menguat.
Jika suku bunga acuan global naik, maka yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia pun ikut terdongkrak, sehingga pemerintah harus menanggung beban bunga utang yang lebih tinggi.
“Biaya utang akan meningkat. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menjaga konsistensi fiskal,” ujar Badiul.
Rupiah Rentan Terhadap Capital Outflow
Selain bunga utang, nilai tukar rupiah juga menjadi indikator penting dalam menjaga keberlanjutan fiskal.
BACA JUGA:Suzuki Sierra SJ410Q 1983: Legenda 4x4 dari Jepang yang Langka di Indonesia.
BACA JUGA:Google News Showcase Diluncurkan di Indonesia, AMSI Desak Platform Digital Lain Ikut Berkontribusi
Fluktuasi rupiah yang dipicu oleh arus modal keluar (capital outflow) bisa membuat pembayaran utang luar negeri menjadi lebih mahal.
Kondisi ini diperparah dengan tensi politik dalam negeri menjelang Pilkada dan potensi perlambatan ekonomi nasional, yang bisa memicu pelebaran defisit fiskal.
Jika defisit melebar, pemerintah tak punya pilihan lain selain menarik utang lebih besar lagi.
“Risiko refinancing pun akan meningkat. Pemerintah harus membayar atau menerbitkan ulang utang yang jatuh tempo, biasanya dengan bunga yang lebih tinggi,” jelas Badiul.