Sementara itu, akun @MF_Rais mendapat laporan serupa atas cuitannya tentang negosiasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang mempersoalkan ketidakseimbangan dalam perjanjian kerja sama.
"Pemerintah menjual terlalu murah kepentingan nasional dalam negosiasi perdagangan dengan AS."
Tautan asli cuitan
Praktik ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya pola sistematis dalam membungkam kritik melalui kanal digital.
BACA JUGA:Anggota DPR Usulkan Gandeng AMSI untuk Melawan Kejahatan Siber
BACA JUGA:AMSI dan UNESCO: Peran Media dalam Menjaga Demokrasi Pilkada 2024
SAFEnet: Pola Represif Kian Menguat
SAFEnet, salah satu anggota Koalisi Damai, mencatat bahwa tren permintaan penghapusan konten meningkat drastis sejak Pemilu 2024. Banyak konten yang dianggap “mengganggu stabilitas negara” justru merupakan ekspresi sah masyarakat sipil yang menyuarakan kebenaran dan ketidakadilan.
Pola yang terus berulang—mulai dari pemilu, isu tambang, hingga kritik terhadap pejabat publik—menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan kekuasaan digitalnya untuk mengendalikan narasi. Hal ini mengancam keberlangsungan demokrasi digital dan melemahkan posisi masyarakat dalam ruang partisipasi publik.
Tiga Desakan Koalisi Damai untuk Pemulihan Demokrasi Digital
Sebagai respons atas tindakan Kemenkomdigi, Koalisi Damai mengajukan tiga desakan utama:
1. Hentikan Moderasi Konten Serampangan
Menkomdigi Meutya Hafid didesak untuk menghentikan praktik takedown yang sewenang-wenang. Bila konten yang dipermasalahkan mengandung unsur jurnalistik, penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers, bukan dengan tekanan langsung ke platform digital.
2. Tanggung Jawab Korporasi Media Sosial
Koalisi mendesak platform seperti X, Meta, dan lainnya, agar menolak permintaan penghapusan konten dari pemerintah Indonesia apabila tidak disertai alasan hukum yang jelas dan sesuai standar internasional hak asasi manusia.
3. DPR Harus Bertindak: Evaluasi Total Kewenangan Komdigi