Rizal menambahkan bahwa berdasarkan keterangan dari kliennya, ada sekitar 20 kepala desa lain yang juga terlibat dalam praktik serupa.
“Ini bukan perbuatan individu, tapi sudah seperti sistem yang berjalan setiap tahun. Bahkan ada istilah dana ‘untuk APH’ dalam dokumen forum, meski belum disebutkan siapa oknumnya,” tambah Rizal.
Pernyataan kuasa hukum tersebut tentu menambah sorotan tajam dari publik. Kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level atas, melainkan juga telah mengakar hingga ke struktur pemerintahan desa.
Wacana bahwa praktik pungli dilakukan secara kolektif, dan bahkan menyasar oknum aparat hukum, menjadi peringatan keras bagi aparat penegak hukum untuk bertindak objektif, transparan, dan tuntas dalam menuntaskan kasus ini.
Pakar hukum pidana dari Universitas Sriwijaya, Dr. Endra Mulyadi, menyebut bahwa jika benar praktik ini dilakukan oleh puluhan kades dan mendapat perlindungan dari oknum APH, maka ini sudah masuk kategori korupsi terstruktur dan sistemik.
“Penegak hukum harus berani menelusuri aliran dana dan membongkar jaringan ini hingga ke akar. Jangan berhenti pada dua orang, karena jika benar ini sistemik, maka harus dihentikan total,” ujarnya.
Pengawasan Dana Desa Perlu Diperketat
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa pengawasan terhadap dana desa harus diperkuat, baik dari sisi regulasi, pendampingan, hingga transparansi pelaporan.
Dana desa yang ditransfer oleh pemerintah pusat tiap tahun nilainya bisa mencapai ratusan miliar, dan sangat rentan disalahgunakan apabila tidak diawasi dengan baik.
Pemerintah daerah bersama instansi terkait diimbau agar:
Melibatkan inspektorat internal dan masyarakat desa dalam pengawasan anggaran
Mewajibkan setiap kepala desa membuat laporan realisasi kegiatan secara terbuka dan online
Meningkatkan pelatihan integritas dan manajemen keuangan desa.