Menanti Fatwa Legalisasi Ganja Medis

Menanti Fatwa Legalisasi Ganja Medis

Hasil rapat tersebut, Komisi III DPR RI akan mempertimbangkan masukan dalam proses revisi UU Narkotika yang saat ini masih berproses, baik dari perspektif kesehatan, pengawasan, dan penegakan hukum bersama pemerintah.

Menanggapi wacana ini, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menegaskan, pihaknya mengizinkan penelitian medis terkait khasiat tumbuhan ganja. Tapi, masyarakat tetap tak diperbolehkan mengonsumsinya untuk kebutuhan rekreasi. 

Kementerian Kesehatan sudah melakukan kajian dan akan segera mengeluarkan regulasinya. Budi mengatakan, yang perlu diperhatikan dalam penelitian ganja medis adalah bagaimana mengontrol fungsi penelitian. Fungsi penelitian ini harus sejalan dengan fungsi medis dari ganja.

Berbeda dengan MUI yang masih membuka kemungkinan menerima ganja untuk medis, BNN dengan tegas menutup peluang itu. Koordinator Tim Ahli Narkotika BNN Komjen Polisi Ahwil Luthan menegaskan, ganja terutama di Indonesia, tidak bisa digunakan maupun diolah untuk kepentingan medis. Sebab ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi yakni 18 persen.

Tanaman ganja di Indonesia berbeda dengan yang ada di Thailand, maupun negara-negara lain yang telah melegalisasi salah satu jenis narkotika itu. Di Indonesia, kadar THC yang tinggi menyebabkan tanaman itu sangat sulit untuk diolah. Temuan kandungan zat THC itu disebut berdasarkan hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan.

Melegalisasi penggunaan ganja memang bukan perkara mudah. Apalagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa pengguna ganja di dunia naik hingga menjadi 209 juta orang ketika pandemi Covid-19 baru saja melanda pada 2020.

Dalam laporan PBB yang dirilis Senin (27/6), disebutkan bahwa periode lockdown selama pandemi Covid-19 memicu peningkatan penggunaan ganja pada 2020. Laporan itu juga membeberkan sekitar 284 juta orang atau sekitar 5,6 persen dari keseluruhan populasi dunia menggunakan narkoba, seperti heroin, kokain, amphetamine, dan ekstasi pada 2020.

Sementara itu dalam Indonesia Drugs Report 2022 yang dirilis oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, penyalahgunaan narkoba setahun terakhir menunjukkan angka prevalensi yang meningkat dari 1,8% pada 2019 menjadi 1,95% pada 2021.

Data yang bersumber dari Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba 2021 ini memperlihatkan, dari total 187.513.456 jiwa penduduk Indonesia berusia 15 - 64 tahun, ada sekitar 3.656.512 jiwa melakukan penyalahgunaan narkoba. 

Dalam laporan terbaru BNN tersebut juga terungkap, mayoritas jenis narkoba yang dikonsumsi adalah ganja (59,1%), sabu (23,8%) dan dextro (4,3%). Ganja menempati urutan pertama konsumsi teratas, disusul sabu, ekstasi, nipam, dextro dan tembakau Gorila.

Laporan tahunan BNN itu juga mengungkap harga ganja yang ditemukan di pasaran Indonesia. Ganja termahal dijual seharga Rp100 ribu per gram dan termurah Rp1.300 per gram. Lebih murah dari sabu dan ekstasi yang harganya berkisar Rp700.000 - Rp3.500.000 per gram (sabu) dan Rp185.000 -Rp900.000 per butir (ekstasi). 

Dari gambaran tersebut, tentu akan lebih baik bagi pemerintah untuk tidak terburu-buru melegalkan ganja medis. Perlu kajian mendalam dari berbagai aspek untuk meloloskan wacana ini. Tidak hanya aspek kesehatan tetapi juga aspek sosial, hukum dan dampaknya di masyarakat.

Sebagai lembaga pemberi fatwa, MUI pun harus melakukan kajian secara komperehensif dalam perspektif keagamaan. Jangan sampai nantinya justru menimbulkan kemudaratan. Karena fatwa MUI akan menjadi pedoman bagi DPR dalam mengkaji wacana ini.

Siapa yang bisa menjamin ketika penggunaan ganja medis dilegalkan tidak akan ada yang menyalahgunakan? Siapa yang berani memastikan, ganja betul-betul digunakan untuk alasan kesehatan, bukan untuk tujuan rekreasional, kendati pengawasan ketat telah dilakukan?(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: