Mau Lihat Situs Pra Sriwijaya, Ternyata Ada di Daerah Ini
Teluk Cengal OKI yang disebut juga tempat lokasi pra Sriwijaya--
PALEMBANG, PALPOS.ID- Lahan basah pesisir tenggara Sumatera (Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan) banyak terdapat bunti-bukti arkeologis masa Sriwijaya di Sumatera (7-13 M).
Di lahan basah tersebut terdapat situs-situs arkeologi proto Sriwijaya atau dikenal dengan istilah situs pra Sriwijaya.
Hal ini membuktikan bahwa lahan basah pesisir tenggara Sumatera telah menjadi pemukiman, diperkirakan sejak awal masehi. Hal itu berdasarkan analisis pertanggalan yang terdapat pada berbagai jenis artefak.
Pemukiman ini mengelompok di tepi sungai dan rawa pasang surut. Situs-situs tersebut terletak di hilir sungai, yang lokasinya agak ke dalam dari garis pantai yang ada saat ini.
Dipermukiman itu penduduknya tinggal di rumah panggung bertiang kayu yang terbuat dari batang kayu nibung serta jenis kayu keras lainnya.
Barang-barang rumah tangga yang mereka gunakan berasal dari luar negeri, seperti keramik Cina, tembikar Arikamedu, India, manik-manik dari Persia, ditemukan bersama dengan barang-barang lokal seperti wadah yang terbuat dari gerabah.
Di beberapa situs permukiman ditemukan perahu-perahu kayu yang dibuat dengan teknik papan ikat menggunakan tali ijuk dan juga pasak kayu. Ditemukannya sejumlah perahu ini menunjukkan kalau masa itu mereka telah mengenal dan menggunakan alat transportasi air.
Teluk Cengal di Kecamatan Cengal dan Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), diperkitrakan sebagai bandar pelabuhan Sriwijaya
Di wilayah ini terdapat situs-situs arkeologi. Salah satu situs penting untuk dikaji lebih lanjut adalah situs-situs yang terdapat di Desa Ulak Kedondong di daerah aliran Sungai Lumpur di Kecamatan Cengal.
Kawasan ini menjadi perhatian para arkeolog ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan pada akhir tahun 2015.
Kebakaran juga menghanguskan peninggalan arkeologis yang terdapat dipermukaan dan di bawah permukaan tanah.
Peninjauan yang dilakukan pada awal tahun 2016 oleh Tim Balai Arkeologi Sumatera Selatan di lokasi terlihat kondisi situs yang rusak karena kebakaran dan aktivitas penggalian liar, untuk mengambil artefak emas, keramik, manik-manik, bahkan tiang kayu bangunan kuno yang dianggap bernilai.
Kawasan ini memiliki wilayah yang luas, mencakup Sungai Langipi dan Sungai Ketupak, keduanya bertemu dengan Sungai Lumpur.
Kawasan situs Ulak Kedondong yang menghadap ke Laut Jawa dan Selat Bangka, yang merupakan jalur pelayaran yang ramai pada masa Sriwijaya. Apakah kawasan situs di Teluk Cangal pernah menjadi bandar pelabuhan pada masa Sriwijaya?
Pertanyaan tersebut karena Sriwijaya merupakan kerajaan yang berkembang dan punya peranan penting dalam jaringan perdagangan global maritim antara Asia dan Asia Tenggara sejak milenium pertama.
Perdagangan maritim pada masa itu mengikuti pergantian musim, adanya keteraturan angin di Asia Tropis .
Dari bulan April sampai dengan Agustus, angin musim bertiup ke utara menuju daratan Asia. Sedangkan dari Desember sampai Maret, angin bertiup ke selatan, dari daratan Asia ke Samudra India dan Laut Cina Selatan (Reid 2015:77).
Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Selat Malaka dan Selat Bangka, tentunya memiliki pelabuhan di sepanjang pantai perairan tersebut.
Pencarian situs bandar pelabuhan di pesisir Sumatera Selatan dilakukan di kawasan Air Sugihan, baik di Air Sugihan Kiri (Kabupaten Banyuasin) maupun Air Sugihan Kanan ( Kabupaten OKI).
Di kedua kawasan tersebut, para arkeolog belum berhasil menemukan sisa-sisa bandar pelabuhan kuno seperti dermaga kayu, yang menguatkan bukti adanya bandar pelabuhan.
Kawasan Teluk Cengal memiliki potensi besar sebagai lokasi pelabuhan antara, bila ditinjau dari posisi kawasan itu yang berada di persimpangan jalur maritim antara Selat Bangka, Laut Jawa dan Selat Sunda.
Arkeologi telah melakukan survei pada tahun 1992 di wilayah Teluk Cengal, dan dilanjutkan pada tahun 2012 dan 2015 oleh tim Balai Arkeologi Sumatera Selatan.
Pada akhir tahun 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan di Cengal yang mengungkapkan peninggalan arkeologis di Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI. Penggalian liar dilakukan secara besar-besaran dan menemukan berbagai jenis artefak, sisa-sisa bangunan kayu serta kepingan-kepingan perahu kuno, dalam satu area yang luas.
Teluk Cengal merupakan bagian lanskap maritim Sriwijaya yang menguasai bandar pelabuhan di pantai Selat Malaka, Selat Bangka, dan Laut Jawa.
Sebagian besar wilayah Teluk Cengal merupakan lahan basah berupa tanah gambut. Lahan basah tersebut berasal dari endapan rawa dengan material bahan organik (gambut), pasir halus dan lempung.
Diantara lahan basah terdapat tanah mineral kering yang berasal dati formasi Muara Enim, yang terdiri atas batupasir kuarsa berseling dengan batupasir. Tanah mineral terhampar di bagian selatan Teluk Cengal, yang dikelilingi tanah gambut.
Jika ditarik garis lurus, Teluk Cengal terletak di sebelah tenggara Kota Palembang, dengan jarak sekitar 135 km.
Tidak ada aliran sungai yang menghubungkan Teluk Cengal dengan Kota Palembang. Dari Teluk Cengal ke Kota Palembang bisa ditempuh melalui jalan darat, kemudian dilanjutkan dengan menyusuri pantai Sungai Lumpur dengan perahu.
Di Teluk Cengal perahu kuno tradisi Asia Tenggara, ditemukan pertama kali pada tahun 1992, di Desa Tulung Selapan.
Sisa perahu yang ditemukan antara lain, tali ijuk sebagai pengikat papan perahu, pasak kayu dan papan-papan perahu.
Pada tahun 2009, seorang penduduk Desa Pasir, Kecamatan Cengal, menemukan perahu kuno di dalam Sungai Pasir.
Perahu kuno tersebut kemudian diangkat dalam kondisi relatif lengkap, mulai dari bagian haluan sampai buritan. Tim Balai Arkeologi Sumsel meninjau temuan tersebut pada 2012. Papan-papan perahu berserakan di tanah dan sebagain papan dibuat jeramba (jembatan) untuk menghubungkan rumah-rumah penduduk. Artefak yang ditemukan dalam perahu berupa pecahan-pecahan keramik dan tembikar.
Data arkeologi yang ditemukan di Teluk Cengal memberikan gambaran mengenai adanya pusat permukiman di daerah aliran Sungai Lumpur, dan adanya aktivitas kemaritiman dengan ditemukannya perahu-perahu dan artefak impor dari Cina , India dan Persia
Pusat permukiman di lokasi tersebut diperkirakan sebagai kawasan bandar pelabuhan masa Sriwijaya dari abad ke 8-11 Masehi .
Pada abad ke 8-13 Masehi, Sriwijaya berkembang menjadi maharaja penguasa laut di Asia Tenggara, meliputi wilayah Kambujadesa (sampai abad ke-10), Semenanjung Melayu, Pantai Timur Sumatera dan Jawa Bagian Barat. (nbq)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: