Sayur Lodeh : Warisan Kuliner Nusantara yang Tetap Relevan di Era Modern

Sayur Lodeh : Warisan Kuliner Nusantara yang Tetap Relevan di Era Modern

Sayur lodeh: lebih dari sekadar santapan, ini warisan rasa dan budaya yang tetap hidup di tengah modernitas.-Fhoto: Istimewa-

PALPOS.ID - Di tengah gempuran makanan cepat saji dan tren kuliner global yang kian beragam, keberadaan masakan tradisional Indonesia seperti sayur lodeh tetap menunjukkan eksistensinya.

Sajian berkuah santan ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang identitas, sejarah, dan kehangatan budaya yang diwariskan turun-temurun.

 

Sayur lodeh merupakan salah satu kuliner khas Jawa yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.

Berbahan dasar santan dan aneka sayuran seperti labu siam, terong, kacang panjang, wortel, hingga jagung muda, lodeh dikenal dengan kuahnya yang gurih, aroma rempah yang khas, serta kemampuannya untuk memadukan berbagai rasa dalam satu panci.

BACA JUGA:Gulai Ayam : Warisan Kuliner Nusantara yang Menggugah Selera

BACA JUGA:Soto Lamongan, Warisan Kuliner Nusantara yang Terus Menyatu dengan Zaman

 

Menurut Dr. Endang Retnowati, pakar kuliner dan peneliti makanan tradisional dari Universitas Gadjah Mada, sayur lodeh tidak hanya hadir sebagai sajian rumah tangga.

“Sayur lodeh adalah representasi nilai-nilai Jawa, khususnya konsep kebersamaan dan kesederhanaan.

Dalam tradisi Jawa, lodeh seringkali disajikan dalam acara slametan atau sebagai simbol tolak bala,” ungkapnya.

 

 

Asal-usul sayur lodeh tidak terdokumentasi secara rinci, namun dipercaya sudah ada sejak masa kerajaan di tanah Jawa.

BACA JUGA:Nasi Itik Gambut, Kuliner Legendaris Kalimantan Selatan yang Terus Menggoda Selera

BACA JUGA:Lontong Kupang : Kuliner Khas Jawa Timur yang Menggugah Selera dan Sarat Tradisi

Beberapa catatan menyebutkan bahwa lodeh mulai populer sejak abad ke-18 dan berkembang di wilayah Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.

Dalam budaya Jawa, makanan bukan sekadar untuk mengenyangkan, tetapi juga menyimpan makna filosofis yang dalam.

 

Misalnya, dalam acara slametan tolak bala atau ritual menjelang bencana seperti musim paceklik, sayur lodeh dipercaya sebagai makanan penolak bala.

Biasanya lodeh yang digunakan disebut “lodeh tujuh rupa”, yaitu lodeh yang berisi tujuh jenis sayuran, masing-masing memiliki makna simbolik.

BACA JUGA:Serabi Solo : Kuliner Tradisional yang Memikat Selera dan Mengangkat Warisan Budaya

BACA JUGA:Nasi Tumpeng : Ikon Kuliner dan Budaya Indonesia yang Mendunia

Angka tujuh dalam budaya Jawa dianggap sakral dan memiliki kekuatan spiritual.

 

“Lodeh bukan hanya makanan, tapi juga sarana komunikasi spiritual antara manusia dan alam semesta,” ujar Ki Slamet Wijaya, budayawan asal Klaten, Jawa Tengah.

Ia menambahkan bahwa dalam beberapa desa di Jawa Tengah, tradisi membuat sayur lodeh tujuh rupa masih dijaga hingga kini, terutama saat menjelang musim hujan atau dalam masa-masa sulit.

 

 

Meski berasal dari Jawa, sayur lodeh kini telah menjelma menjadi makanan yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia, dengan penyesuaian bahan dan cita rasa lokal.

Di daerah Betawi, lodeh dimasak dengan tambahan tempe semangit (tempe yang sudah hampir basi) untuk memperkaya rasa.

Sementara di wilayah Sumatra, khususnya di Palembang, lodeh bisa diberi tambahan ebi atau udang kering agar lebih gurih.

 

Di Bali, meskipun makanan bersantan lebih identik dengan lawar atau jukut, pengaruh lodeh tetap terasa dalam bentuk jukut aresolahan batang pisang yang dimasak santan, mirip dengan lodeh khas Jawa namun dengan bahan lokal yang berbeda.

 

“Indonesia sangat kaya dengan variasi lokal dari satu makanan. Lodeh di setiap daerah punya cerita dan cita rasa masing-masing,” kata Chef Raka Aditya, juru masak profesional yang kerap mengangkat makanan tradisional dalam kreasi modernnya.

 

 

Menariknya, di era modern ini, sayur lodeh mulai bangkit kembali seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap makanan lokal dan gaya hidup sehat.

Beberapa restoran dan kafe di kota-kota besar mulai menghadirkan lodeh dalam bentuk yang lebih moderndisajikan dalam mangkuk bergaya Jepang, dikombinasikan dengan nasi merah, atau bahkan diolah menjadi isian pie gurih.

 

Tak hanya itu, sayur lodeh juga masuk ke dalam ranah kuliner vegan.

Karena tidak menggunakan daging, sayur lodeh dengan bahan nabati sangat cocok untuk mereka yang menghindari produk hewani.

Cukup mengganti terasi atau penyedap berbasis hewani dengan bumbu rempah alami, lodeh bisa menjadi sajian plant-based yang tetap lezat.

 

Menurut data dari Asosiasi Kuliner Nusantara, pencarian resep sayur lodeh meningkat 40% dalam dua tahun terakhir di platform digital.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, mulai melirik kembali kuliner tradisional sebagai bagian dari gaya hidup mereka.

 

“Sekarang banyak orang yang ingin makan enak tapi juga sehat. Sayur lodeh itu cocok sekali, karena penuh sayuran dan kaya rempah alami,” ujar Anisa Putri, food blogger asal Bandung yang kerap membagikan resep masakan rumahan di media sosialnya.

 

 

Namun demikian, menjaga eksistensi sayur lodeh bukan tanpa tantangan.

Generasi muda yang tumbuh dengan budaya instan dan makanan cepat saji kadang merasa proses memasak lodeh terlalu rumit dan memakan waktu.

Selain itu, kurangnya dokumentasi resmi dan riset terhadap makanan tradisional juga membuat banyak resep otentik perlahan menghilang.

 

Oleh karena itu, peran komunitas, akademisi, serta pelaku industri kuliner sangat penting dalam melestarikan lodeh sebagai bagian dari warisan budaya tak benda.

Beberapa sekolah memasak dan yayasan kebudayaan telah mulai mengadakan workshop masak sayur lodeh dan memperkenalkannya ke anak-anak sekolah.

 

“Melestarikan sayur lodeh bukan berarti menolak modernisasi, tapi menyelaraskan kearifan lokal dengan kebutuhan zaman,” ujar Dr. Endang Retnowati menutup wawancara.

 

 

Sayur lodeh adalah bukti bahwa makanan bisa menjadi cermin identitas budaya dan jembatan antar-generasi.

Dari dapur sederhana di pedesaan Jawa hingga meja makan modern di pusat kota, sayur lodeh terus hidup, menyatukan rasa, kenangan, dan harapan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: