Dalam operasi tersebut, Indonesia mengandalkan persenjataan perang dari Blok Timur yang dimotori oleh Uni Soviet.
BACA JUGA:Dukungan Masyarakat Adat Terhadap Pembentukan Provinsi Papua Barat Tengah Pemekaran Papua
Tekanan dari Amerika Serikat membuat Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Indonesia, ditandai dengan Perjanjian New York.
Perjanjian tersebut menetapkan bahwa Belanda akan menyerahkan Papua melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 menjadi landasan.
Namun, mekanisme Pepera ini dipermasalahkan oleh beberapa tokoh Papua, termasuk Socratez Sofyan Yoman, yang menganggap bahwa Pepera tidak sesuai dengan kehendak Perjanjian New York.
Kritik terhadap mekanisme Pepera mencuat karena tidak menerapkan prinsip satu orang satu suara.
BACA JUGA:KABAR DUKA : Mantan Gubernur Papua Lukas Enembe Meninggal Dunia di RSPAD Jakarta
Pepera dijalankan sesuai dengan sistem musyawarah Indonesia, yang melibatkan hanya sebagian kecil penduduk Papua.
Filep Karma, seorang aktivis Papua, turut menyesalkan kejanggalan tersebut dan menyebut bahwa paksaan dan intimidasi mengiringi jalannya Pepera.
Dengan demikian, hasil Pepera pada 1969, yang menunjukkan mayoritas mendukung integrasi dengan Indonesia, dipandang sebagian kalangan sebagai hasil yang tidak adil.
Hal ini menciptakan dasar kontroversi yang masih membara hingga kini, menjadikan Perjanjian New York sebagai akar permasalahan utama terkait status Papua di Indonesia.
BACA JUGA:Empat Provinsi Baru di Papua Muncul Pasca-Pemekaran
Sementara sejumlah kalangan di Papua tetap menggulirkan wacana untuk merdeka dari Indonesia, KKB yang berasal dari OPM kini menjadi ancaman serius bagi keamanan di Bumi Cenderawasih.