Adaptasi Terhadap Perubahan Air Baku
Dirut Perumda Tirta Musi Palembang, Andi Wijaya Adani -erika/palpos.id-PALPOS.ID
Untuk itu adaptasi perlu dilakukan dalam rangka menanggapi perubahan kondisi air baku. Adaptasi yang dilakukan dapat berupa hal teknis ataupun kebijakan dari sisi regulasi.
Dari sisi teknis hal yang dapat dilakukan adalah menekan semaksimal mungkin kehilangan air atau NRW (Non Revenue Water), sehingga air baku yang dibutuhkan dapat ditekan dengan menekan kehilangan air.
Membuat struktur muka penyadapan air (intake) sedemikian rupa sehingga dapat melakukan penyadapan air walau muka air sungai dalam kondisi ekstrim.
Hal yang sama harus dilakukan untuk menyiasati tingkat kekeruhan yang tinggi. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membuat kolam presedimentasi dengan tujuan menurunkan tingkat kekeruhan sebelum air siap diolah.
Tetapi solusi diatas merupakan solusi jangka pendek. Jika kawasan Daerah Aliran Sungai atau DAS terus mengalami perubahan ekosistem sehingga mengurangi fungsi alaminya.
Maka solusi jangka pendek tersebut tidak akan dapat mengatasi masalah ketersediaan air baku yang tidak memenuhi dari sisi kuantitas maupun kualitas. Oleh sebab itu dibutuhkan solusi jangka panjang untuk menjaga agar fungsi alami DAS dapat terjamin.
DAS sendiri didifinisikan sebagai kawasan atau wilayah dimana yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana dimana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut. Guna dari DAS adalah menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya melalui sungai.
Air pada DAS merupakan aliran air yang mengalami siklus hidrologi secara alamiah. Selama berlangsungnya daur hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti tersebut, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah sehingga akan dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup.
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltrasi), sedangkan air yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Pada ekosistem hutan, air permukaan (runoff) mengalami perlambatan yang sangat nyata.
Sewaktu hujan jatuh, pertamakali energi kinetiknya akan dipatahkan oleh dedaunan. Selanjutnya aliran air yang telah melambat tersebut akan terhalang oleh ranting dibawahnya dan jika lolos air tersebut akan tertahan oleh semak dan rerumputan di dasar hutan. Sehingga aliran permukaan di ekosistem hutan sangat rendah dan sebaliknya air yang masuk ke dalam tanah atau air yang terserap akan tinggi.
Pada permukaan tanah yang terbuka, air hujan akan langsung mengenai permukaan dengan energi kenetik yang tinggi sehingga dapat memecahkan partikel tanah.
Oleh karena tidak ada hambatan maka aliran permukaan akan tinggi. Tingginya laju aliran permukaan menyebabkan tingginya laju erosi. Laju erosi yang tinggi menyebabkan sedimentasi di waduk, sungai danau atau di reservoir alami lainnya.
Sedimentasi ini akan memperkecil kapasitas tampung wadah-wadah air alami tersebut. Sehingga pada musim kemarau air tersebut tidak mencukupi dan pada musim hujan akan mudah terjadi luapan yang mengakibatkan banjir.
Dari uraian di atas maka ekosistem hutan sangatlah penting bagi keseimbangan air pada musim hujan dan kemarau. Tetapi menurut Forest Watch Indonesia (FWI) kenyataannya laju kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia sangat tinggi yaitu 2 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1980-1990-an, 1,5 juta hektar per tahun pada periode 2000-2009 dan 1,1 juta hektar pada periode 2009-2013.
Penurunan laju deforestasi ini bukan karena berhasilnya pelestarian hutan tetapi lebih karena telah berkurangnya wilayah hutan di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: