Kepala Daerah Tak Wajib Mundur saat Nyalon Pilkada dan Pilpres 2024, Ini Kata Pengamat Politik..

Kepala Daerah Tak Wajib Mundur saat Nyalon Pilkada dan Pilpres 2024, Ini Kata Pengamat Politik..

Pengamat Politik, M Haekal Al Haffafah S Sos, M Sos-robby/palpos.id-

POLITIK, PALPOS.ID-Pemerintah pusat kembali mengeluarkan kebijakan yang terkesan kontroversi dan cenderung tak mengindahkan demokrasi yang sehat.

Kebijakan tersebut yakni tidak diwajibkannya Menteri, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) maupun legislator untuk mengundurkan diri jika maju atau nyalon Pilkada termasuk juga menjadi Capres atau Cawapres pada 2024 mendatang. 

Kebijakan ini  tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 21 November 2023, sebagaimana dikutip di Jakarta, Jumat kemarin (24/11).

BACA JUGA:Ajak Semua Pihak Sinergi Sukseskan Pemilu 2024

Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik, M Haekal Al Haffafah S Sos, M Sos menilai, sulit rasanya kehadiran PP tersebut untuk menghindar dari berbohong dengan mengatakan, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2023 terbebas dan steril dari kepentingan politis.

"Argumentasi yang perlu disampaikan bahwa ada paradoks dalam demokrasi yang mewajibkan hadirnya kompetisi disatu sisi tapi mengharuskan keadilan disisi yang lain, peraturan pemerintah 53 tahun 2023 yang membolehkan cuti atau tidak wajib mundur secara tergopoh-gopoh menabrak prinsip sejajar dan setara diantara peserta pemilu," ujar Haekal.

Apalagi lanjut Haekal, disana ada anak Presiden sebagai kandidat Cawapres maju dan berkompetisi, sementara Presiden Jokowi menandatangani aturan yang mengaminkan anaknya boleh cuti.

BACA JUGA:Ada Penunggukah, Danau Galian di Desa Tanjung Seteko Kembali Telan Korban, Terbaru Warga Palembang

"Dengan kata lain boleh menggunakan fasilitas negara (gaji, tunjangan, fasilitas jabatan dll,red) sekalipun secara bersamaan memberi ruang kepada kandidat lain yang secara aturan terikat dalam kategori PP No 53 tahun 2023 .

Prinsip selanjutnya kata Haekal,  secara gamblang dalam demokrasi adalah kedaulatan suara mayoritas sehingga tidak mungkin tercipta pemilu secara fair, adil dan sportif jika masih ada kekhawatiran adanya intervensi kekuasaan (upaya mempengaruhi) ASN atau mengkondisikan suara pemilih lewat status jabatan politik yang masih melekat.

"Dari peristiwa MK yang memberi ruang kepada walikota solo untuk maju sebagai cawapres, kemudian dipecatnya Ketua MK Anwar Usman lalu kemudian muncul peraturan pemerintah No 53 tahun 2023 yang ditandatangani Presiden," terangnya.

BACA JUGA:Analisis Mendalam Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Kalimantan Utara Triwulanan 2023: Tren, Tantangan dan Prospek

Semestinya lanjut Haekal, kita perlu meminjam teori kontrak sosial Jhon Locke (filsuf politik terkenal) bahwa legitimasi atau otoritas politik yang diberikan kepada negara, justru dibangun dengan gagasan untuk membatasi kekuasaan (peluang absolut) Presiden, yang kehadirannya justru ingin mengubur ancaman bahaya laten nepotisme atau pemerintahan gaya absolut.**

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: