MKMK Tegaskan Baleg DPR Membangkang Putusan MK Terkait UU Pilkada: Sebuah Krisis Konstitusi

MKMK Tegaskan Baleg DPR Membangkang Putusan MK Terkait UU Pilkada: Sebuah Krisis Konstitusi

MKMK Tegaskan Baleg DPR Membangkang Putusan MK Terkait UU Pilkada: Sebuah Krisis Konstitusi.-Palpos.id-Dokumen Palpos.id

Krisis Konstitusi dan Implikasinya

Tindakan Baleg DPR ini menimbulkan perdebatan tentang krisis konstitusi di Indonesia. 

BACA JUGA:Pilkada DKI Jakarta 2024: Kemunculan Duet Anies-Rano Karno Saingi Ridwan Kamil

BACA JUGA:PDIP Usung 610 Kepala Daerah di Pilkada 2024: 54 Persen Kader Internal, Golkar Dominasi Koalisi 10 Persen

Dalam sistem demokrasi, konstitusi adalah landasan utama yang harus dijaga dan dihormati oleh semua lembaga negara. 

Ketika putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai penjaga konstitusi, diabaikan atau disiasati, maka hal tersebut dapat memicu krisis kepercayaan terhadap sistem hukum dan demokrasi itu sendiri.

Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, yang sebelumnya ditetapkan minimal 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 hingga 10 persen dari total suara sah. 

Putusan ini juga menetapkan syarat usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun.

BACA JUGA:Pilkada DKI Jakarta 2024: Protes Anies Baswedan dan Kejanggalan Verifikasi Dukungan Paslon Dharma-Kun

BACA JUGA:Airlangga Hartarto Mundur dari Ketua Umum Golkar: Dampaknya terhadap Peta Politik Pilkada dan Dinamika Partai

Namun, dalam revisi UU Pilkada yang dibahas oleh Baleg, terdapat perubahan yang dianggap menyiasati putusan MK tersebut.

Misalnya, dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Panja Baleg merumuskan batas usia minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, bukan sejak pendaftaran. Ini dinilai sebagai upaya untuk menghindari putusan MK yang seharusnya diikuti.

Selain itu, Baleg juga mengatur bahwa ambang batas pencalonan sebesar 6,5 hingga 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD, sedangkan untuk partai pemilik kursi di DPRD, ambang batas pencalonan tetap sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah. 

Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa prinsip kesetaraan dalam pencalonan kepala daerah dapat terganggu.

Reaksi Masyarakat dan Akademisi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: