Wajid, Cita Rasa Tradisional yang Bertahan di Tengah Modernisasi Kuliner

Wajid, Cita Rasa Tradisional yang Bertahan di Tengah Modernisasi Kuliner

Di balik lengket dan manisnya wajid, tersimpan kisah budaya dan kehangatan keluarga. -Fhoto: Istimewa-

Proses pembuatan wajid cukup panjang. Pertama, ketan putih dicuci bersih dan direndam selama beberapa jam, lalu dikukus hingga setengah matang.

Setelah itu, ketan dimasak kembali dalam larutan gula merah dan santan yang sudah dididihkan dengan api kecil sambil terus diaduk agar tidak gosong.

BACA JUGA:Som Tum : Kuliner Segar dan Pedas dari Thailand yang Mendunia

BACA JUGA:Menjelajahi Rasa Kari Hijau: Perpaduan Eksotik dari Dapur Thailand

Proses ini bisa memakan waktu 2–3 jam. Ketika teksturnya sudah lengket dan warna cokelat mengkilap mulai merata, wajid siap dicetak.

Biasanya, adonan dituangkan ke dalam loyang besar, lalu dipotong kecil-kecil setelah dingin.

Ada pula yang membungkusnya dengan daun jagung atau daun pisang, terutama untuk oleh-oleh atau hantaran.

Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap makanan lokal, wajid mulai dilirik kembali oleh generasi muda.

Permintaan pasar yang stabil, terutama menjelang hari raya, membuat produksi wajid tetap berjalan meski tanpa promosi besar-besaran.

Beberapa UMKM di Sulawesi Selatan bahkan mulai memasarkan wajid dalam bentuk kemasan modern, termasuk melalui toko daring.

Harga wajid pun bervariasi, tergantung ukuran dan jenis bahan yang digunakan. Satu potong wajid kecil bisa dijual seharga Rp5.000 hingga Rp10.000, sedangkan satu kemasan besar bisa mencapai Rp50.000 atau lebih.

Andi Rizal, pelaku UMKM muda dari Makassar, mengaku mulai menjual wajid secara online sejak pandemi COVID-19.

“Awalnya iseng, bantu tante yang biasa bikin wajid. Tapi karena banyak peminat, saya coba pasarkan di media sosial.

Ternyata banyak yang kangen makanan tradisional,” katanya.

Meski masih populer, ada tantangan dalam melestarikan wajid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: