Anak Sungai di Palembang Mati Perlahan: Sejarawan Peringatkan Identitas Kota Terancam Hilang

Anak Sungai di Palembang Mati Perlahan: Sejarawan Peringatkan Identitas Kota Terancam Hilang

Anak Sungai di Palembang Mati Perlahan: Sejarawan Peringatkan Identitas Kota Terancam Hilang.--Dokumen Palpos.id

Namun, gemilang masa lampau perlahan meredup sejak awal abad ke-20. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menilai sungai justru biang penyakit. 

Pada 1913, mereka mengundang ahli sungai asal Belanda, Rudolf A. van Sandick, untuk memetakan sistem perairan Palembang. 

BACA JUGA:Camat Jakabaring dan Lurah Silaberanti Pimpin Gotong Royong Bersihkan Anak Sungai Aur

BACA JUGA:China Lirik Kerja Sama Penanggulangan Banjir Optimalkan Sungai Musi Sebagai Destinasi Wisata

Alih-alih memperkuat, pemerintah kolonial justru menimbun banyak sungai untuk memperluas pelabuhan, pasar, dan membangun jalan raya.

“Kekuasaan membentuk ruang. Kolonialisme membawa zonasi dan pembangunan, tetapi sekaligus menghapus sistem ruang lokal yang berbasis air,” jelas Dedi. 

Ironi ini terus berlanjut hingga masa republik. Proyek urbanisasi dan pelebaran kota membuat sungai ditimbun demi kawasan bisnis, mall, dan perumahan.

Kini, data Koalisi Kawali (2025) menunjukkan hanya tersisa 114 sungai aktif di Palembang. Itu pun sebagian besar berubah wujud menjadi kanal mati atau got tertutup yang menebar bau busuk di musim panas.

BACA JUGA:Susur Sungai Musi: Wujud Komitmen Bank Indonesia Penuhi Kebutuhan Uang Rupiah Masyarakat di Wilayah Perairan

BACA JUGA:Ancaman Angkutan Batubara di Perairan Sungai Musi: Sumber PAD yang Membawa Petaka bagi Masyarakat Sumsel

Dari Jalur Kehidupan Menjadi Tempat Sampah

Dr. Kemas A.R. Panji, sejarawan UIN Raden Fatah Palembang yang juga anggota Puskass, mengungkapkan lebih pilu lagi. 

Menurutnya, Sungai Musi memang masih terlihat berkilau dari kejauhan, tapi kilau itu bukan lagi pantulan kejernihan air, melainkan pantulan minyak dan limbah domestik.

“Palembang bukan kota biasa. Ia lahir dari air. Sungai Musi dan anak-anaknya bukan sekadar jalur lalu lintas, melainkan ruang hidup yang membentuk lanskap budaya, sosial, hingga ekonomi,” katanya.

Ia pun menyinggung paradoks tragis Palembang: kota dengan sejarah sungai yang kaya, tetapi kini paling miskin pengelolaan. 

BACA JUGA:Spektakuler! Ribuan Warga Palembang Saksikan Flyboard with Bodylighting di Festival Sungai Musi 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: berbagai sumber