PALPOS.ID - Kue Chuikaoso, nama yang mungkin masih terdengar asing di telinga banyak orang, kini mulai mencuri perhatian para pecinta kuliner tradisional di Indonesia.
Dengan rasa yang unik, tampilan menarik, dan sejarah panjang yang menyertainya, kue ini perlahan-lahan bangkit dari tidur panjangnya dan kembali menjadi primadona di pasar-pasar kuliner lokal dan media sosial.
Kue Chuikaoso berasal dari daerah perbukitan di Jawa Barat bagian timur, tepatnya dari Desa Cipasung, Kabupaten Tasikmalaya.
Nama "Chuikaoso" sendiri diyakini berasal dari bahasa Sunda kuno, yang berarti "campuran lembut yang menguatkan."
BACA JUGA:Rendang Daging Sapi : Warisan Kuliner Nusantara yang Mendunia
Kue ini pada awalnya dibuat sebagai persembahan dalam upacara adat panen, yang disebut Ngabersihan, dan disajikan kepada tetua adat sebagai simbol rasa syukur kepada alam.
Chuikaoso awalnya dibuat dari bahan-bahan alami seperti tepung ketan hitam, kelapa parut, gula aren, dan daun pandan liar yang tumbuh di sekitar hutan.
Pengolahan kue ini juga tidak bisa sembarangan: adonan harus diaduk selama lebih dari satu jam dengan tangan agar teksturnya halus dan lembut, lalu dikukus dalam bungkus daun pisang hingga harum.
Bagi yang pernah mencicipi kue ini, Chuikaoso memberikan sensasi rasa manis-gurih dengan aroma khas daun pandan yang kuat.
BACA JUGA:Bebek Goreng Utuh Jadi Primadona Kuliner Baru, Warga Rela Antre Demi Cita Rasa Istimewa
BACA JUGA:Tren Baru di Dunia Kue Kering : Nastar Cokelat Keju Mencuri Perhatian Pecinta Kuliner
Teksturnya kenyal di luar, namun lembut di dalam—sebuah perpaduan yang memanjakan lidah.
Gula aren yang digunakan sebagai isian memberikan kejutan manis yang tidak terlalu menyengat, sementara kelapa parut menambah dimensi rasa yang khas dan natural.
Menurut Diah Rukmini (45), salah satu pembuat kue tradisional dari Tasikmalaya, Chuikaoso adalah kue yang “berbicara dengan hati.” Ia menuturkan, “Setiap adukan adonan membawa ingatan masa kecil.