Konflik Lahan Perkebunan BUMN, Ancaman Kedaulatan Negara

Konflik Lahan Perkebunan BUMN, Ancaman Kedaulatan Negara

Konflik Lahan Perkebunan BUMN, Ancaman Kedaulatan Negara.-Palpos.id-Dokumen Palpos.id

Kasus ini diluar konteks tulisan ini, tetapi hanya ingin menyadarkan kepada khalayak bahwa tanah negara yang diminta oleh Pemprov yang nota bene juga bagian dari negara, ternyata berpindah tangan kepada personal alias pribadi. 

Ini menjadi ironi karena bisa dipastikan PTPN VII melepas aset dasar perusahaan itu kepada Pemprov karena untuk kepentingan negara juga.

Lebih ke bawah lagi, kita juga membaca berita betapa Pemprov merasa sangat penting untuk mendapatkan lahan sekitar 150 hektare di bilangan Way Galih, Lampung Selatan untuk dibuat Komplek Olahraga Terpadu alias Sport Centre. 

Lagi-lagi, meskipun sangat berat karena lahan adalah tempat persemaian usaha PTPN VII untuk menghidupi perusahaannya harus merelakan atas nama semangat kebangsaan. 

Meskipun, konon Pemprov tidak bisa gratis saja untuk mendapatkan lahan tersebut.

Jika diurut terus ke belakang, maka kita akan mendapatkan data ribuan hektare lahan PTPN VII yang telah berpindah tangan.

Lahan-lahan milik negara itu telah menjadi fasilitas umum, perkantoran, fasilitas olahraga, jalan tol, dan sebagainya. Ada juga yang kemudian diduduki masyarakat dengan memaksa tinggal, mendirikan “desa” lengkap dengan fasilitas ibadah dan lainnya.

Satu kasus konflik lahan yang kemudian menjadi isu nasional adalah ketika PTPN VII yang secara de facto adalah entitas negara harus kalah dengan perusahaan swasta yang datang belakangan. 

Kasus ini adalah sengketa lahan 4.650 hektare milik PTPN VII yang dikelola Unit Bunga Mayang dan digugat oleh PT Bumi Madu Mandiri. Secara kronologis dan sejarah, konflik pada kasus ini terasa sekali tingkat ketidak seimbangan hukumnya.

Dari berbagai sumber, penulis mendapat data bahwa PTPN VII menguasai lahan 4.650 hektare di Bunga Mayang itu secara sah karena mendapat mandat dari Pemerintah melalui Departemen Pertanian. 

Mandat itu diberikan kepada PTP XXI-XXII (berubah menjadi PTP XXXI dan pada 1996 berubah menjadi PTPN VII) untuk mendirikan pabrik gula putih pada 1982. Dan untuk kepentingan pemenuhan bahan baku berupa tebu, PTPN VII mendapat tambahan konsesi lahan seluas 4.650 hektare tersebut.

Lahan yang kemudian digarap untuk kepentingan tanaman tebu oleh PTPN VII ini kemudian hari, atau sekitar tahun 2012 diduduki warga lokal dengan paksa. 

Bersamaan dengan itu, muncul nama PT Bumi Madu Mandiri yang kemudian berada di barisan warga yang melakukan okupasi. Perusahaan yang diduga berafiliasi dengan perusahaan perkebunan tebu dan pabrik gula Gunung Madu Plantation itu melakukan upaya hukum. 

PT BMM mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk mengalihkan hak lahan seluas 4650 hektare itu dari PTPN VII sebagai pemilik sebelumnya.

Gugatan itu terus berlanjut dan bertahap sesuai luas bidang lahan. Dalam berpuluh kali sidang yang digelar secara maraton, PN Blambangan Umpu terus dan selalu memenangkan PT BMM. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: