PLTU Sumsel 1 Ancam Sumber Perekonomian Masyarakat: Lahan Produktif Tergusur Demi Proyek Strategis Nasional

PLTU Sumsel 1 Ancam Sumber Perekonomian Masyarakat: Lahan Produktif Tergusur Demi Proyek Strategis Nasional.--Dokumen Palpos.id
MUARA ENIM, PALPOS.ID - Di balik megahnya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumsel 1 Mulut Tambang, tersimpan kisah pilu yang tengah dirasakan masyarakat di Desa Tanjung Menang dan Desa Jemenang, Kecamatan Niru, Kabupaten Muara Enim.
Ribuan hektare lahan produktif yang selama ini menjadi sumber utama perekonomian warga, kini terancam hilang ditelan proyek pertambangan batubara.
PT Cakra Bumi Energi, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mulut Tambang Batubara untuk PLTU Sumsel 1, tercatat memiliki wilayah konsesi seluas 9.815 hektare.
Ironisnya, sebagian besar area tersebut merupakan kebun sawit, karet, dan lahan palawija milik masyarakat setempat.
BACA JUGA:Bupati Minta PLTU Sumsel 8 Alokasikan Listrik Khusus Untuk Warga Muara Enim
BACA JUGA:Koalisi STuEB Laporkan 15 Dugaan Kejahatan Lingkungan oleh 8 PLTU Batubara di Sumatera ke KLH
Lahan ini menjadi urat nadi ekonomi ribuan kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari hasil perkebunan dan pertanian.
"Penghidupan masyarakat selama ini dari sektor kebun dan pertanian terancam hilang dalam hitungan hari. Ini semua akibat proyek strategis nasional PLTU Sumsel 1 Mulut Tambang," ungkap Satria, Ketua Posko Rumah Merdeka, saat ditemui wartawan pada Jumat (11/07/2025).
Harga Ganti Rugi Dinilai Tidak Manusiawi
Satria menjelaskan, masalah utama yang membuat warga semakin resah adalah tawaran harga ganti rugi dari perusahaan yang jauh dari kata adil. PT Cakra Bumi Energi disebut hanya menawarkan kompensasi sebesar Rp 25.000 per meter persegi atau setara Rp 250 juta per hektare.
Padahal, menurut perhitungan warga, pendapatan bulanan dari kebun sawit bisa mencapai Rp 10 juta per hektare, sedangkan kebun karet menghasilkan sekitar Rp 7,2 juta per hektare.
Jika diakumulasi, pendapatan tahunan dari kebun sawit saja mencapai Rp 120 juta, belum termasuk keuntungan jangka panjang yang terus mengalir selama puluhan tahun.
"Hitung-hitungan ini sungguh mencederai akal sehat. Harga ganti rugi yang ditawarkan bahkan tidak sebanding dengan satu tahun panen masyarakat," jelas Satria dengan nada geram.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: berbagai sumber