Meski terlihat sederhana, mochi sebenarnya memiliki nilai filosofis yang dalam bagi masyarakat Jepang.
Teksturnya yang lengket dan bentuknya yang bulat dianggap sebagai simbol ikatan kekeluargaan dan harapan untuk keberuntungan di tahun yang baru.
Karena itu, banyak keluarga di Jepang yang masih mempertahankan tradisi membuat dan memakan mochi bersama setiap tahunnya.
Dari sisi kesehatan, mochi juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sebagai produk dari beras ketan, mochi mengandung karbohidrat kompleks yang bisa memberikan energi.
Namun karena teksturnya yang lengket, mochi juga bisa berbahaya jika tidak dikunyah dengan baik—terutama bagi anak-anak dan orang lanjut usia.
Di Jepang, setiap tahun ada laporan kasus tersedak akibat mochi, terutama saat perayaan Tahun Baru.
Oleh karena itu, pemerintah Jepang secara rutin mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati saat mengonsumsi makanan ini.
Di tengah tren makanan kekinian dan minat terhadap budaya Asia yang terus meningkat, mochi tampaknya akan terus menjadi bagian dari kuliner global yang diminati.
Inovasi terus dilakukan tanpa melupakan akar budayanya.
Bagi pencinta kuliner, mochi bukan hanya tentang rasa, tetapi juga cerita di baliknya.
Mochi telah membuktikan bahwa makanan tradisional bisa tetap eksis dan bahkan mendunia jika mampu beradaptasi dan tetap menjaga kualitas serta nilai budaya yang dikandungnya.
Dari Jepang hingga Indonesia, dari makanan upacara hingga camilan sehari-hari, mochi tetap menjadi simbol kenikmatan yang bersahaja dan kaya makna.*