Profesor Tan Malaka : Banyak Industri Tidak Patuh pada K3 Lingkungan Kerja

Profesor Tan Malaka : Banyak Industri Tidak Patuh pada K3 Lingkungan Kerja

Profesor Tan Malaka (kanan) bersama Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel dr H Trisnawarman MKes SpKKLP (tengah) serta perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumsel dalam webinar online Bulan K3 Nasional di Sumbagsel, Sabtu (4/2).---ist

PALEMBANG, PALPOS.ID – Dewan Penasehat INOSHPRO (Indonesian Network of Occupational Health and Safety Professionals) Prof dr Tan Malaka MOH DrPH SpOk HIU mengatakan, banyak industri yang tidak patuh pada norma K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Lingkungan Kerja. 

“Hal inilah yang memicu terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja hingga kematian akibat kerja. Angka kecelakaan dan kematian kerja di Indonesia bahkan hingga saat ini masih tinggi dan berlipat-lipat angkanya dibandingkan negara berkembang lainnya,” kata Profesor Tan Malaka saat menjadi keynote speaker dalam Webinar K3 Sumbagsel, Sabtu (4/2), di ruang rapat Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sumatera Selatan.

BACA JUGA:Sukses Digelar, Webinar K3 Sumbagsel Diikuti Peserta dari Aceh Sampai Papua

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya ini mengatakan, angka kematian akibat kecelakaan kerja di Indonesia terus merangkak naik. Jika pada 2015 case fatality rate mencapai 2,26 persen, pada 2016 naik 2,35 persen dan pada 2022 case fatality rate menjadi 3 persen.

“Dari 100 kecelakaan kerja ada 3 orang yang meninggal. Angka ini lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya seperti Turki,” katanya sembari menambahkan, data case fatality rate tersebut bersumber dari data BPJS Ketenagakerjaan.

Profesor Tan Malaka yang profilnya masuk dalam buku 100 Tokoh K3 Indonesia mengatakan, di Indonesia saat ini banyak penyakit akibat kerja yang tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan. Menurutnya ini sesuatu yang aneh karena regulasi pemerintah terkait hal tersebut sudah sangat jelas. Namun sampai sekarang pihak manajemen industri seperti pertambangan dan migas masih menyimpan data itu untuk mereka sendiri.

“Di masa depan kita harus mencoba untuk mendapatkan data penyakit akibat kerja. Ini penting sekali karena menyangkut kebijakan. Kalau tidak ada data maka hal ini dianggap tidak penting, yang diurus hanya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dianggap baik-baik saja dan tidak ada masalah,” kata advisor Forum K3 Sumbagsel ini.

BACA JUGA:Peringati Hari Kanker Sedunia, Ini yang Dilakukan Yayasan Kanker Indonesia

Di Sumsel sendiri menurutnya ada beberapa tambang batubara yang beroperasi lebih dari 20 tahun, namun tidak pernah ada laporan terkait penyakit akibat kerja. Ini menurutnya sangat aneh. Karena itulah data penyakit akibat kerja menjadi salah satu isu nasional yang terus digaungkan dan dicari solusinya.

Profesor Tan Malaka juga menyoroti berbagai isu nasional bidang K3 seperti SDM (sumber daya manusia) K3 yang masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurutnya SDM K3 tidak cukup hanya memiliki keahlian tetapi juga kewenangan agar sistem manajemen K3 di tempat kerja betul-betul dapat berjalan.

Isu lain yang juga patut menjadi perhatian adalah perlindungan terhadap tenaga kerja di sektor informal yang masih menjadi masalah di negara kita. “Penerapan sistem manajemen K3 itu harus konsisten, bukan hanya ditempel di ruang kerja lalu dianggap selesai,” katanya.

BACA JUGA:Selamat, 7 Golongan Ini Berhak Dapat Bansos PKH 2023, Cair Rp 3 Juta..

Jika dilihat dari perspektif Sumsel, kematian akibat kerja masih menjadi masalah. Pembangunan LRT yang merenggut korban jiwa dari pekerja, kasus tewasnya tiga anak buah kapal yang terjebak dalam tongkang di perairan Sungai Musi Kecamatan Gandus Palembang serta kebakaran Happy Karaoke beberapa tahun silam menunjukkan bahwa kematian akibat kerja juga terjadi di Sumsel. 

“Jadi jangan dikira Sumsel ini aman dari kecelakaan kerja atau kematian kerja,” kata Profesor Tan Malaka yang meraih penghargaan Asia Pacific Academic Consortium of Public Health (APACPH), Award on Occupational Health, 2010 ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: