Lopis, Warisan Kuliner yang Melekat dalam Tradisi dan Kenangan

Di balik rasa manis lopis, tersimpan cerita tentang syukur, kebersamaan, dan tradisi yang diwariskan turun-temurun.-Fhoto: Istimewa-
Beberapa sekolah dan komunitas kuliner juga mulai mengadakan lomba membuat lopis sebagai upaya melestarikan makanan tradisional kepada generasi muda.
Di era digital ini, tak sedikit pula konten kreator makanan yang mengangkat kisah dan proses pembuatan lopis di media sosial.
Namun, seperti banyak makanan tradisional lainnya, lopis juga menghadapi tantangan untuk bertahan di tengah perubahan zaman.
Gaya hidup modern, makanan cepat saji, dan menurunnya minat generasi muda terhadap makanan tradisional menjadi tantangan tersendiri.
“Makanan ini sederhana, tapi prosesnya panjang.
Anak-anak sekarang banyak yang tidak sabar untuk membuatnya,” ujar Ibu Sumiyati, seorang pembuat lopis di pasar tradisional.
“Padahal kalau tidak ada yang meneruskan, bisa-bisa hilang nanti.”
Untuk mengatasi hal ini, sejumlah komunitas dan pelaku UMKM mulai memodifikasi tampilan lopis agar lebih menarik bagi kalangan muda.
Ada yang menyajikan lopis dalam bentuk mini, ada pula yang menambahkan topping seperti keju atau cokelat — tanpa mengubah cita rasa aslinya.
Lopis bukan sekadar makanan. Ia adalah pengingat akan nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur: kebersamaan, rasa syukur, kesabaran, dan gotong royong.
Di tengah gempuran zaman, kehadiran lopis menjadi oase nostalgia dan identitas budaya yang tak ternilai harganya.
Jika kita ingin tradisi ini tetap hidup, maka mengenalkan, mengajarkan, dan mencintai kembali makanan seperti lopis adalah langkah awal yang sederhana namun bermakna.
Karena sejatinya, rasa manis lopis bukan hanya berasal dari gula merah — tetapi juga dari cinta dan kebersamaan yang melingkupinya.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: