Bala-bala, Gorengan Tradisional yang Tetap Eksis di Tengah Gempuran Camilan Modern

Renyah di luar, lembut di dalam. Bala-bala enggak pernah salah.-Fhoto: Istimewa-
PALPOS.ID – Di tengah pesatnya perkembangan industri kuliner modern, makanan tradisional tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Indonesia.
Salah satunya adalah bala-bala, camilan gorengan khas Indonesia yang akrab di lidah masyarakat dari berbagai kalangan.
Bala-bala, yang dikenal juga dengan sebutan bakwan sayur di beberapa daerah, merupakan gorengan yang terbuat dari campuran tepung terigu dan berbagai sayuran seperti wortel, kol, tauge, serta daun bawang.
Adonan tersebut kemudian digoreng hingga berwarna keemasan dan renyah di luar, namun tetap lembut di dalam.
BACA JUGA:Sala Lauak, Camilan Gurih Khas Minangkabau yang Makin Diminati
BACA JUGA:Martabak Telur : Hidangan Legendaris yang Terus Menjadi Primadona di Tengah Gempuran Kuliner Modern
Bala-bala banyak dijual oleh pedagang kaki lima, terutama di gerobak gorengan pinggir jalan.
Harganya yang murah meriah, mulai dari Rp1.000 hingga Rp2.500 per biji, menjadikannya camilan favorit masyarakat, terutama pada sore hari atau saat hujan turun.
Nama bala-bala sendiri dipercaya berasal dari Bahasa Sunda.
Dalam Bahasa Sunda, "bala" berarti “pasukan” atau “kumpulan”.
BACA JUGA:Keju Aroma : Menyajikan Kelezatan Tradisional yang Mendunia
BACA JUGA:Risol Mayo : Jajanan Favorit yang Semakin Populer di Tengah Masyarakat Urban
Dinamai demikian karena dalam satu adonan bala-bala terdapat "pasukan" sayur-sayuran yang bercampur menjadi satu.
Meski begitu, tidak semua daerah di Indonesia menggunakan istilah ini.
Di Jawa Timur misalnya, makanan ini dikenal dengan nama "otek" atau "bakwan", sementara di Jakarta dan sekitarnya nama bakwan sering merujuk pada versi tanpa sayuran, yang lebih mendekati perkedel jagung.
Menurut pengamat kuliner tradisional, M. Arif Budiman, nama dan bentuk gorengan ini mungkin berbeda-beda, namun fungsinya tetap sama: sebagai makanan rakyat yang terjangkau dan mengenyangkan.
BACA JUGA:Jamur Crispy : Sajian Lezat dan Menyehatkan yang Semakin Digemari
BACA JUGA:Pisang Molen, Camilan Legendaris yang Tetap Digemari Sepanjang Masa
“Bala-bala adalah contoh bagaimana budaya kuliner kita berkembang sesuai konteks daerah.
Meski bahan dasarnya serupa, cara penyajian dan penyebutannya bisa berbeda,” ujar Arif dalam wawancara bersama Kuliner Nusantara.
Cita rasa bala-bala sangat khas: gurih, renyah, dan sedikit manis dari sayuran segar.
Beberapa penjual juga menambahkan ebi (udang kering), potongan daun seledri, atau bahkan irisan cabai ke dalam adonan untuk menambah aroma dan rasa.
Belakangan ini, banyak inovasi bala-bala yang bermunculan, terutama di kafe-kafe kekinian yang mengusung tema modern twist pada makanan tradisional.
Contohnya, bala-bala keju mozarella, bala-bala isi ayam suwir, hingga bala-bala versi vegan yang menggunakan tepung non-gluten dan tanpa telur.
Meski ada sentuhan modern, versi tradisionalnya tetap paling dicari. Keaslian rasa, kesederhanaan bumbu, dan sensasi makan langsung dari kertas pembungkus menjadi daya tarik tersendiri.
Namun, eksistensi bala-bala tak lepas dari berbagai tantangan.
Salah satunya adalah stigma negatif terhadap makanan gorengan yang dianggap tidak sehat.
Kandungan minyak berlebih dan penggunaan minyak jelantah oleh sebagian pedagang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat urban.
Untuk mengatasi hal ini, beberapa komunitas dan UMKM mulai beralih menggunakan minyak goreng berkualitas dan mengganti cara penyajian agar lebih higienis.
Di media sosial, juga mulai bermunculan resep-resep bala-bala air fryer dan versi panggang sebagai alternatif yang lebih sehat.
Pemerintah daerah di beberapa kota pun turut ambil bagian dalam menjaga eksistensi kuliner tradisional, termasuk bala-bala.
Lewat festival kuliner, lomba memasak, hingga pelatihan UMKM, bala-bala tidak hanya dijaga kelestariannya, tapi juga didorong untuk naik kelas dan menembus pasar lebih luas, termasuk ekspor.
Lebih dari sekadar camilan, bala-bala menyimpan nilai sosial yang mendalam.
Makanan ini sering hadir dalam acara keluarga, rapat RT, pengajian, hingga menjadi "teman ngobrol" bersama secangkir kopi di warung kopi atau angkringan.
Menurut Siti Nurhasanah (45), pedagang gorengan keliling di wilayah Bandung, bala-bala bukan hanya dagangannya, tapi juga bagian dari hidupnya.
“Sudah 15 tahun saya jualan bala-bala. Banyak langganan dari dulu sampai sekarang, katanya kangen rasanya.
Ada yang beli tiap sore buat keluarga,” tuturnya sambil tersenyum.
Di era yang serba cepat dan digital ini, bala-bala tetap menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Ia mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan kuliner dan nilai kebersamaan yang terkandung di dalamnya.
Bala-bala adalah bukti bahwa makanan sederhana pun bisa memiliki tempat istimewa di tengah perubahan zaman.
Keberadaannya bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal identitas, memori kolektif, dan budaya yang terus hidup.
Selama masih ada yang mencintai dan melestarikannya, bala-bala akan terus hadir di tengah masyarakat Indonesia—renyah, hangat, dan penuh cerita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: