Pilkada Ulang Akibat Kekalahan Calon Tunggal Melawan Kotak Kosong Digelar 25 September 2025

Pilkada Ulang Akibat Kekalahan Calon Tunggal Melawan Kotak Kosong Digelar 25 September 2025

Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara dan Kepala Daerah dalam Pilkada 2024.-Palpos.id-Dokumen Palpos.id

“Kami sepakat bahwa pemungutan suara ulang harus dilaksanakan paling lambat satu tahun setelah Pilkada 2024. Oleh karena itu, September 2025 adalah waktu yang tepat,” kata Doli yang juga merupakan politikus dari Partai Golkar.

Doli menegaskan bahwa penyelenggaraan pemungutan suara ulang merupakan upaya untuk menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia. 

Komisi II DPR, lanjutnya, akan terus mendukung KPU dalam proses teknis pelaksanaan pilkada ulang tersebut, sehingga hasil yang dihasilkan nanti benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.

Pilkada Makassar: Kisah Sukses Kotak Kosong

Salah satu peristiwa paling fenomenal terkait kemenangan kotak kosong terjadi pada Pilkada Makassar 2018. 

Saat itu, calon tunggal Ramdhan Pomanto yang berpasangan dengan Indira Mulyasari melawan kotak kosong. 

Dalam hasil akhir, kotak kosong memenangkan pilkada dengan selisih suara signifikan, yang membuat Ramdhan Pomanto gagal kembali menjabat sebagai wali kota

Kemenangan kotak kosong di Makassar menjadi pelajaran penting dalam politik lokal Indonesia. 

Kejadian ini menyoroti pentingnya kompetisi politik yang sehat serta memberikan ruang bagi munculnya calon alternatif yang kompeten. 

Selain itu, kemenangan kotak kosong juga mengingatkan partai politik untuk lebih serius dalam melakukan kaderisasi dan memberikan ruang bagi calon yang benar-benar memiliki dukungan publik yang kuat.

Kritik Terhadap Sistem Politik Lokal

Peningkatan jumlah calon tunggal juga menuai kritik dari berbagai pihak. 

Salah satu kritik utama adalah terkait dengan sistem pencalonan di partai politik yang dinilai tidak berjalan optimal.

Partai politik sering kali lebih memilih untuk mendukung calon yang sudah populer dan kuat daripada mencalonkan kader internal yang dianggap belum memiliki kekuatan politik yang memadai.

Banyak pengamat politik berpendapat bahwa fenomena ini menunjukkan krisis kaderisasi di tubuh partai politik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: