Cakwe, Jajanan Klasik yang Tetap Eksis di Tengah Gempuran Makanan Modern

Cakwe, jajanan klasik yang tak lekang oleh waktu.-Fhoto: Istimewa-
PALPOS.ID — Di tengah menjamurnya makanan kekinian seperti croffle, boba, dan Korean street food, ada satu jajanan legendaris yang tetap bertahan dan digemari lintas generasi: cakwe.
Makanan ringan berbahan dasar tepung terigu ini bukan hanya punya rasa gurih yang khas, tetapi juga menyimpan sejarah panjang serta nilai budaya yang menarik untuk disimak.
Cakwe adalah penganan gorengan yang berbentuk panjang, biasanya digoreng hingga berwarna keemasan dengan tekstur renyah di luar dan lembut di dalam.
Nama "cakwe" berasal dari bahasa Hokkien, yakni "cha kueh", yang secara harfiah berarti “kue goreng”.
BACA JUGA:Inovasi Camilan Tradisional : Bola-Bola Ubi Kembali Populer di Kalangan Milenial
BACA JUGA:Perkedel Kentang, Hidangan Tradisional yang Tak Pernah Kehilangan Tempat di Hati Rakyat Indonesia
Biasanya, cakwe dijual bersama bubur ayam, susu kedelai, atau dijadikan camilan dengan saus khas yang berwarna merah-oranye.
Meski terkesan sederhana, cakwe punya tempat istimewa di hati masyarakat Indonesia, terutama karena kehadirannya yang merakyat dan mudah ditemui di berbagai sudut kota.
Cakwe berasal dari Tiongkok dan memiliki sejarah yang unik.
Konon, cakwe diciptakan sebagai bentuk protes rakyat terhadap seorang pejabat jahat bernama Qin Hui yang mengkhianati jenderal Yue Fei pada masa Dinasti Song.
BACA JUGA:Bakwan Jagung : Camilan Tradisional yang Tetap Eksis di Era Modern
BACA JUGA:Ote-Ote Porong : Cita Rasa Legendaris dari Sidoarjo yang Tak Pernah Lekang oleh Waktu
Masyarakat menciptakan kue berbentuk dua batang adonan yang disatukan, melambangkan Qin Hui dan istrinya, lalu digoreng sebagai simbol kemarahan dan perlawanan.
Saat migrasi besar-besaran warga Tionghoa ke Asia Tenggara, budaya kuliner ini pun ikut menyebar.
Di Indonesia, cakwe bertransformasi menjadi jajanan khas yang bisa dinikmati siapa saja, tanpa mengenal latar belakang budaya.
Meski zaman berubah dan gaya hidup masyarakat semakin modern, cakwe tetap memiliki tempat tersendiri
BACA JUGA:Tempe Manjes, Gorengan Kekinian yang Bikin Lidah Goyang dan Dompet Aman
BACA JUGA:Cireng Salju Bumbu Rujak : Cita Rasa Tradisional Dalam Balutan Kenyal Nan Gurih
Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, hingga Surabaya, cakwe masih menjadi primadona jajanan pinggir jalan.
Menurut Anton Wijaya (42), pedagang cakwe yang sudah berjualan di kawasan Mangga Besar sejak 2007, permintaan terhadap cakwe justru meningkat selama beberapa tahun terakhir.
“Anak-anak muda sekarang malah banyak yang suka.
Mereka beli, foto, upload ke media sosial. Jadi semacam nostalgia atau eksplorasi kuliner klasik,” ujarnya sambil tersenyum.
Anton juga menyebut bahwa inovasi menjadi kunci bertahannya cakwe di tengah tren makanan baru.
Ia menawarkan cakwe isi keju, cakwe isi ayam pedas, bahkan cakwe manis dengan topping cokelat dan meses.
“Kita harus kreatif, tapi tetap jaga rasa asli juga,” tambahnya.
Kini, cakwe tak hanya dijajakan oleh pedagang keliling atau gerobak kaki lima.
Beberapa usaha kuliner modern mulai memasukkan cakwe ke dalam menu mereka, dengan kemasan dan penyajian yang lebih estetik.
Di beberapa kafe kekinian, cakwe bahkan disajikan bersama saus truffle, keju parmesan, atau dalam bentuk "cakwe platter".
Fenomena ini membuktikan bahwa cakwe berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya.
Makanan ini mampu menjembatani antara tradisi dan modernitas, antara cita rasa lokal dan gaya hidup urban.
Cakwe dibuat dari campuran tepung terigu, air, baking powder, ragi, dan sedikit garam.
Adonan ini didiamkan selama beberapa jam agar mengembang, kemudian dipotong dan dibentuk menjadi dua strip yang direkatkan, lalu digoreng dalam minyak panas hingga mengembang.
Kunci kelezatan cakwe terletak pada proses fermentasi adonan serta teknik menggoreng.
Jika terlalu sebentar, cakwe bisa keras; jika terlalu lama, warnanya menjadi terlalu gelap.
Karenanya, para pedagang yang sudah berpengalaman sangat menjaga waktu dan suhu saat memasak.
Meski tetap diminati, eksistensi cakwe juga menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait persaingan dengan makanan instan dan waralaba asing yang semakin agresif di pasar Indonesia.
Selain itu, harga bahan baku yang naik-turun juga mempengaruhi keberlangsungan usaha para pedagang kecil.
Namun demikian, banyak pelaku usaha yang optimistis.
“Selama masih ada yang suka makanan enak dan murah, cakwe nggak akan punah,” kata Sri Rahayu (35), penjual cakwe keliling di kawasan Yogyakarta.
Pemerintah daerah dan komunitas kuliner juga mulai melirik cakwe sebagai bagian dari warisan kuliner yang perlu dilestarikan.
Festival makanan tradisional, pelatihan usaha kecil, hingga promosi lewat media sosial menjadi cara-cara yang dilakukan untuk menjaga keberlangsungan makanan ini.
Cakwe bukan hanya soal rasa gurih yang menggoda, tapi juga cerminan dari keberagaman dan adaptasi budaya.
Di tengah laju zaman yang serba cepat dan modern, kehadiran cakwe menjadi pengingat bahwa makanan tradisional tetap bisa hidup berdampingan dengan inovasi, selama ada semangat pelestarian dan kreativitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: