Nasi Uduk, Warisan Kuliner Betawi yang Tak Lekang oleh Waktu

Aroma gurih nasi uduk, lauk lezat, dan sambal pedas manis yang menggoda.-Fhoto: Istimewa-
PALPOS.ID - Aroma harum nasi yang dimasak dengan santan, rempah-rempah, dan daun pandan pagi ini menggoda setiap pejalan kaki yang melintas di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat.
Di balik gerobak sederhana dengan tulisan “Nasi Uduk Mpok Yayah”, antrean mulai mengular sejak pukul 05.30 pagi.
Menu favorit masyarakat Ibu Kota ini memang seolah tak pernah kehilangan penggemar.
Nasi uduk, makanan khas Betawi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta.
BACA JUGA:Semur Jengkol : Kuliner Tradisional yang Dicintai dan Dibenci Sekaligus
BACA JUGA:Sop Iga Sapi, Sajian Hangat yang Menyatukan Rasa dan Tradisi
Dari warung kaki lima hingga restoran kelas atas, nasi uduk selalu punya tempat istimewa.
Meski sederhana, perpaduan rasa gurih nasi, lauk pauk yang menggoda, serta sambal kacang atau sambal goreng yang pedas manis menjadikannya hidangan yang kaya cita rasa dan budaya.
Nasi uduk berasal dari kata “uduk” dalam Bahasa Betawi yang berarti “bercampur.”
Hal ini merujuk pada campuran berbagai bahan dalam proses pembuatannya: beras putih yang dimasak dengan santan kelapa, ditambah daun salam, serai, lengkuas, dan daun pandan.
BACA JUGA:Sup Kacang Merah : Hidangan Tradisional yang Kian Populer di Tengah Gempuran Kuliner Modern
BACA JUGA:Miso Soup : Sup Tradisional Jepang yang Mendunia dan Kaya Manfaat
Dalam tradisi Betawi, nasi uduk sering dihidangkan dalam acara syukuran, tahlilan, atau perayaan lainnya sebagai simbol kebersamaan dan keberkahan.
Menurut sejarawan kuliner Betawi, M. Ridwan Saidi, nasi uduk sudah ada sejak era kolonial Belanda.
Masakan ini terinspirasi dari nasi lemak khas Melayu dan berkembang menjadi sajian khas yang lebih kompleks berkat pengaruh budaya lokal Betawi yang kaya dengan bumbu dan rempah-rempah.
Yang membuat nasi uduk begitu spesial bukan hanya nasinya yang gurih, tetapi juga pilihan lauknya yang sangat beragam.
BACA JUGA:Sate Blora, Kuliner Legendaris dari Jawa Tengah yang Makin Mendunia
BACA JUGA:Sup Kambing, Kuliner Legendaris yang Tetap Digemari Sepanjang Masa
Di warung Mpok Yayah misalnya, pembeli bisa memilih antara ayam goreng, semur jengkol, telur balado, tempe orek, bihun goreng, hingga sambal kentang ati.
Setiap lauk dipersiapkan sejak dini hari, dimasak dengan bumbu yang meresap dan rasa autentik khas rumahan.
“Yang paling laris ayam goreng kremes sama semur jengkol,” kata Mpok Yayah, pemilik warung yang sudah berdagang sejak 1998.
“Tapi ada juga pelanggan langganan yang selalu pesan tahu bacem dan bihun saja. Tergantung selera, yang penting nasinya tetap gurih.”
Tak ketinggalan pelengkap seperti emping goreng, timun segar, dan sambal kacang atau sambal goreng menjadi pemikat utama yang membuat banyak orang kembali dan kembali lagi.
Kombinasi rasa asin, manis, pedas, dan gurih memberikan sensasi seimbang yang memanjakan lidah.
Dalam satu dekade terakhir, nasi uduk tidak hanya eksis di warung-warung tradisional, tapi juga merambah dunia digital.
Banyak kreator konten kuliner mengulas nasi uduk dari berbagai penjuru Jakarta. Ada yang menyoroti “nasi uduk tengah malam” di daerah Cengkareng, hingga nasi uduk kekinian yang disajikan dalam kemasan praktis oleh usaha rintisan berbasis online.
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi video pendek yang memperlihatkan proses pembuatan nasi uduk dengan visual menggoda: santan yang mendidih, ayam yang digoreng garing, sambal yang diulek segar.
Nasi uduk bukan lagi sekadar makanan rakyat, tapi telah menjadi tren kuliner yang terus bertahan di tengah serbuan makanan asing.
Menurut data dari platform pemesanan makanan daring, nasi uduk termasuk dalam lima besar makanan terpopuler yang dipesan masyarakat Jakarta pada tahun 2024, bersaing ketat dengan ayam geprek dan mie instan.
Seiring perkembangan zaman, nasi uduk juga mengalami inovasi. Beberapa pengusaha kuliner membuat variasi seperti nasi uduk kecombrang, nasi uduk vegan tanpa santan, hingga nasi uduk beras merah untuk menyasar pasar yang lebih sehat.
Meski begitu, rasa autentik tetap menjadi kunci utama agar penggemar setia tidak berpaling.
“Anak muda sekarang banyak yang peduli kesehatan, jadi kami coba versi lebih ringan, tapi tetap pakai rempah asli,” kata Dimas Aryo, pemilik bisnis kuliner “Uduk Bros” yang menyasar konsumen milenial.
Usaha yang dimulai dari dapur rumahan ini kini sudah memiliki lima cabang di Jabodetabek.
Simbol Keberagaman dan Identitas Kuliner Nasional
Nasi uduk bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol keberagaman Indonesia, khususnya Jakarta yang menjadi melting pot berbagai suku dan budaya.
Di satu piring nasi uduk, kita bisa menemukan pengaruh Melayu, Jawa, Tionghoa, dan bahkan Arab yang semuanya menyatu dalam harmoni rasa.
Tak heran jika Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memasukkan nasi uduk sebagai salah satu ikon kuliner dalam promosi wisata gastronomi Indonesia.
Dalam berbagai festival makanan di luar negeri, nasi uduk kerap dipamerkan sebagai contoh makanan jalanan yang memiliki kualitas internasional.
Nasi uduk telah melampaui fungsinya sebagai pengganjal lapar. Ia menjadi bagian dari identitas budaya, medium ekspresi kreativitas kuliner, sekaligus saksi sejarah perkembangan kota Jakarta dari masa ke masa.
Dari dapur rumah Mpok Yayah hingga panggung digital para kreator muda, nasi uduk terus bertahan dan berkembang, membuktikan bahwa warisan kuliner tradisional Indonesia punya daya saing dan tempat di hati masyarakat modern.
Sebagaimana kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang,” nasi uduk adalah contoh sempurna bagaimana cinta terhadap budaya bisa tumbuh lewat satu piring makanan yang penuh cita rasa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: