Kerak Telur : Warisan Kuliner Betawi yang Bertahan di Tengah Gempuran Modernisasi

Kerak Telur : Warisan Kuliner Betawi yang Bertahan di Tengah Gempuran Modernisasi

Kerak telur bukan sekadar jajanan, tapi jejak sejarah Betawi yang masih bisa kamu cicipi hari ini.-Fhoto: Istimewa-

PALPOS.ID - Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang terus berubah menjadi kota metropolitan serba cepat dan modern, kuliner tradisional Betawi seperti kerak telur masih mampu mencuri perhatian.

Hidangan sederhana berbahan dasar ketan, telur, dan serundeng ini bukan hanya makanan, tetapi juga simbol budaya dan sejarah yang hidup di tengah masyarakat ibu kota.

 

Kerak telur kerap hadir di berbagai acara budaya, pameran, maupun festival kuliner, namun tak sedikit pula pedagang yang setia menjajakannya di pinggir jalan, terutama di kawasan wisata seperti Monumen Nasional (Monas), Kota Tua, dan Setu Babakan.

 

 

Kerak telur dikenal sebagai makanan khas Betawi yang muncul sejak zaman kolonial Belanda.

BACA JUGA:Sup Kambing, Kuliner Legendaris yang Tetap Digemari Sepanjang Masa

BACA JUGA:Tempe: Menu Sehat dan Ekonomis, Bisa Diolah Jadi Berbagai Hidangan yang Disukai Semua Kalangan

Hidangan ini dahulu menjadi sajian eksklusif dalam perayaan-perayaan besar, termasuk perayaan ulang tahun Batavia.

Namun, seiring berjalannya waktu, kerak telur menjadi makanan rakyat yang bisa dinikmati siapa saja.

 

“Resepnya turun-temurun dari kakek saya. Dulu hanya disajikan saat Lebaran atau pesta adat, tapi sekarang kami jual setiap hari,” ujar Haji Mamat (56), pedagang kerak telur yang sudah berjualan sejak tahun 1990 di kawasan Setu Babakan.

 

Kerak telur dibuat dari bahan-bahan sederhana: beras ketan putih yang telah direndam, telur bebek atau ayam, ebi (udang kering), bawang goreng, serta serundeng (kelapa parut yang disangrai dengan bumbu).

BACA JUGA:Soto Medan : Warisan Kuliner yang Menggugah Selera dari Sumatera Utara

BACA JUGA:Sop Iga Sapi, Sajian Hangat yang Menyatukan Rasa dan Tradisi

Uniknya, proses memasaknya menggunakan anglo dan arang, bukan kompor gas. Setelah adonan dituangkan di atas wajan kecil, pedagang akan memiringkan wajan di atas bara api agar bagian bawah kerak telur menjadi kering dan garing.

 

 

Bukan hanya rasanya yang khas, proses memasaknya pun menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Pengunjung sering kali antusias melihat aksi para pedagang memutar wajan di atas bara api, hingga aroma harum kelapa sangrai dan telur menyebar ke udara.

 

“Anak-anak saya suka lihat cara masaknya. Katanya seperti nonton pertunjukan,” kata Nina (34), wisatawan asal Bandung yang sedang berlibur di Monas.

BACA JUGA:Sup Kacang Merah : Hidangan Tradisional yang Kian Populer di Tengah Gempuran Kuliner Modern

BACA JUGA:Miso Soup : Sup Tradisional Jepang yang Mendunia dan Kaya Manfaat

 

Menurut beberapa pedagang, mempertahankan metode memasak tradisional dengan arang adalah cara menjaga cita rasa otentik kerak telur.

Meskipun lebih merepotkan dan memakan waktu, namun bara api dianggap mampu memberikan hasil yang lebih renyah dan harum dibanding kompor biasa.

 

 

Namun, eksistensi kerak telur tidak lepas dari tantangan zaman. Modernisasi, gaya hidup serba cepat, serta dominasi makanan cepat saji membuat kuliner tradisional semakin tersisih, terutama di kalangan generasi muda.

 

“Sekarang lebih banyak yang beli boba atau burger. Kerak telur dianggap kuno, padahal ini warisan budaya,” keluh Haji Mamat.

 

Selain itu, keterbatasan pedagang yang masih menggunakan metode tradisional membuat kerak telur sulit bersaing dalam hal kecepatan dan kemasan.

Di tengah era digital dan layanan pesan-antar yang marak, kerak telur masih sulit dijangkau lewat aplikasi, karena harus dimakan saat panas dan tidak tahan lama.

 

Meski begitu, upaya pelestarian terus dilakukan oleh berbagai pihak. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata, kerap mengadakan festival kuliner Betawi, seperti "Festival Kerak Telur" dan "Pekan Budaya Betawi", guna memperkenalkan makanan ini kepada generasi muda.

 

 

Beberapa pelaku UMKM juga mulai mencoba melakukan inovasi pada kerak telur. Ada yang mencoba varian dengan topping keju, daging asap, hingga varian vegetarian.

Meski menu tersebut menuai pro dan kontra, namun dianggap sebagai langkah agar kerak telur tetap relevan dan bisa diterima berbagai kalangan.

 

Salah satu pengusaha muda, Ayu Pratiwi (28), meluncurkan brand "Kerak Telur Kekinian" yang memadukan resep tradisional dengan tampilan modern.

Dengan kemasan ramah lingkungan dan promosi lewat media sosial, Ayu berhasil menjual ratusan porsi per minggu.

 

“Kami tetap mempertahankan rasa asli, tapi tampilannya lebih menarik untuk generasi muda. Ini bentuk cinta saya terhadap budaya Betawi,” ujarnya.

 

 

Lebih dari sekadar makanan, kerak telur adalah bagian dari identitas masyarakat Betawi.

Dalam banyak acara adat, seperti pernikahan Betawi atau perayaan Lebaran Betawi, kerak telur hampir selalu hadir sebagai simbol kehangatan, kebersamaan, dan warisan nenek moyang.

 

Budayawan Betawi, Ridwan Saidi (alm), dalam salah satu wawancaranya pernah menyatakan bahwa kerak telur adalah “kuliner yang mewakili karakter orang Betawi: sederhana, hangat, dan penuh rasa.”

 

 

Di tengah arus globalisasi, keberadaan makanan tradisional seperti kerak telur tidak boleh dibiarkan punah.

Perlu dukungan dari masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah untuk terus memperkenalkan, melestarikan, dan mengembangkan kuliner lokal agar tetap hidup di tengah zaman yang berubah.

 

Mencicipi kerak telur bukan sekadar menyantap makanan. Di balik tiap gigitan, tersimpan cerita panjang tentang sejarah, perjuangan, dan rasa cinta terhadap budaya bangsa.

 

“Selama masih ada yang mau jual dan beli kerak telur, selama itu pula budaya Betawi akan tetap hidup,” tutup Haji Mamat sambil tersenyum, menyajikan seporsi kerak telur hangat kepada pelanggannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: