Kue Bangkit : Warisan Rasa Tradisional yang Kembali Bangkit di Tengah Modernisasi

Kue Bangkit bukan sekadar camilan ia adalah rasa rumah, cerita masa kecil, dan warisan budaya Melayu yang tak lekang oleh waktu.-Fhoto: Istimewa-
Adonan lalu dicetak dengan cetakan kayu bermotif bunga atau daun, kemudian dipanggang dalam oven suhu rendah agar tidak gosong.
“Kesulitan utamanya ada di adonan. Kalau terlalu lembek, kue tidak akan bangkit.
Tapi kalau terlalu keras, kue bisa pecah saat dicetak,” ujar Siti Marwah (57), pembuat kue bangkit tradisional di daerah Kampar, Riau.
Ia menekankan pentingnya pengalaman dan perasaan dalam menentukan takaran bahan. “Tidak ada takaran pasti, semua pakai rasa,” tambahnya.
Meski banyak generasi muda lebih mengenal cookies modern dan dessert ala barat, sejumlah komunitas pecinta kuliner tradisional berusaha mengenalkan kembali kue bangkit lewat festival makanan lokal dan media sosial.
“Kita perlu menanamkan kebanggaan terhadap makanan tradisional sejak kecil.
Kue bangkit itu bukan hanya enak, tapi juga sarat nilai budaya,” ujar Arief Pratama, pendiri komunitas Kuliner Warisan di Jakarta.
Upaya pelestarian ini juga mendapat dukungan dari pemerintah daerah.
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Riau, misalnya, telah memasukkan kue bangkit sebagai bagian dari promosi kuliner daerah.
Dalam beberapa event pariwisata seperti Festival Lancang Kuning dan Pekan Budaya Melayu, kue bangkit rutin dipamerkan dan dibagikan secara gratis kepada pengunjung.
Kue bangkit adalah contoh konkret bagaimana warisan kuliner bisa tetap eksis di tengah arus globalisasi, asal dikelola dengan baik dan dikemas secara menarik.
Masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk menjaga eksistensinya, baik sebagai simbol budaya maupun sebagai produk ekonomi kreatif yang menjanjikan.
“Kalau kita tidak jaga, nanti anak cucu kita tidak kenal lagi sama kue bangkit. Padahal ini kue yang kaya makna, bukan cuma soal rasa,” tutup Nuraini.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: