ODGJ Boleh Nyoblos Pemilu 2024, Ini Kata Pengamat Sosial dan Politik

 ODGJ Boleh Nyoblos Pemilu 2024, Ini  Kata Pengamat Sosial dan Politik

M Haekal Al-Haffafah S.Sos, M.Sos. f Ist--

PALEMBANG,PALPOS.ID - Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) baru-baru ini mengumumkan kebijakan yang cukup kontroversial terkait Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diperbolehkan mencoblos pada Pemilu 2024 dengan syarat tertentu. 

Dalam keterangannya, Komisioner KPU RI, Idham Holik, menyampaikan bahwa ODGJ yang diizinkan memilih harus memenuhi kriteria tertentu, seperti tidak mengalami gangguan jiwa permanen dan memiliki surat keterangan dari rumah sakit atau dokter yang menyatakan bahwa mereka mampu memberikan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Kebijakan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Pengamat Sosial dan Politik Sumsel, M Haekal Al-Haffafah S.Sos, M.Sos.

BACA JUGA: Revolusi Identitas: Pemerintah Stop Fotocopy KTP, Pengamat Ingatkan Kesiapan Infrastruktur Teknologi

BACA JUGA:KAI Optimalkan Pelayanan Kereta Api di Masa Liburan Tahun Baru

Haekal mengatakan, bahwa hak memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh Undang-undang, khususnya Pasal 43 Ayat (1 dan 2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun, ia juga menyampaikan beberapa kekhawatiran terkait keputusan tersebut 

Haekal menyatakan bahwa meskipun KPU menetapkan syarat dengan hati-hati, publik tetap memiliki hak untuk merespon kebijakan tersebut dengan kritik dan kekhawatiran. 

BACA JUGA:Pemekaran Daerah Otonomi di Kabupaten Majalengka Jabar: Menggali Potensi dan Tantangan Masa Depan

BACA JUGA:Beras Bulog Berceceran di Jalan, Jalan Kolonel Barlian Palembang Macet Total

Salah satu poin yang dia soroti adalah tingkat objektivitas orang dalam gangguan jiwa dalam memilih dan bagaimana hal ini dapat memengaruhi kualitas pemimpin yang terpilih.

Pengamat Sosial dan Politik ini juga menyoroti prinsip demokrasi matang dalam negara maju, di mana partisipasi aktif warganegara dianggap sebagai indikator kualitas. 

Ia membandingkan tingkat partisipasi pemilih di Amerika yang tidak lebih dari 70%, sementara di Indonesia, masih terdapat kekhawatiran terhadap proses pemilu, termasuk catatan kecurangan yang cukup banyak.

BACA JUGA:Revitalisasi Pasar 16 Ilir, Transformasi Menuju Pusat Perdagangan dan Wisata Palembang, Begini Penampakannya..

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: