Budae Jjigae : Perpaduan Sejarah dan Rasa dalam Semangkuk Sup Pedas Korea

Budae Jjigae sup pedas Korea yang lahir dari sisa-sisa perang, kini jadi ikon kuliner dunia.-Fhoto: Istimewa-
PALPOS.ID - Di tengah gemerlap modernitas Korea Selatan yang mendunia melalui musik K-pop, drama, dan budaya kulinernya, terdapat satu hidangan yang mencerminkan kisah masa lalu negeri ginseng dengan rasa yang kaya dan menggugah selera: Budae Jjigae.
Sup pedas ala militer ini tidak hanya menjadi favorit masyarakat lokal, tetapi juga makin digemari oleh wisatawan dan pecinta kuliner dari seluruh dunia.
Budae Jjigae (부대찌개), yang secara harfiah berarti “sup pangkalan militer”, adalah hidangan berupa sup pedas berbahan dasar gochujang (pasta cabai merah Korea), kaldu, dan aneka isian unik seperti sosis, ham, daging, mie instan, tahu, jamur, dan bahkan keju.
Meski terdengar tidak konvensional untuk masakan Korea yang dikenal tradisional, kombinasi bahan dalam Budae Jjigae mencerminkan kreativitas dan ketahanan hidup masyarakat Korea pasca-Perang Korea (1950–1953).
BACA JUGA:Jjamppong : Hidangan Pedas Korea yang Mendunia dan Menggoda Lidah Pecinta Kuliner
BACA JUGA:Dakbal : Kuliner Pedas Korea yang Mulai Populer di Kalangan Milenial Indonesia
Budae Jjigae pertama kali muncul pada awal 1950-an, tak lama setelah berakhirnya Perang Korea.
Pada masa itu, Korea Selatan menghadapi krisis ekonomi dan kekurangan pangan yang serius.
Warga sipil di sekitar pangkalan militer Amerika Serikat, seperti di daerah Uijeongbu dan Pyeongtaek, menemukan cara bertahan hidup dengan memanfaatkan sisa makanan dari pangkalan militer AS.
Makanan kaleng seperti spam, sosis hotdog, baked beans, dan keju — yang saat itu merupakan bahan makanan mewah bagi rakyat Korea — menjadi bahan utama dalam sup yang kemudian mereka racik dengan bumbu khas Korea.
BACA JUGA:Inovasi Kuliner Nusantara : Tahu Goreng Isi Ayam Mercon, Sensasi Pedas yang Menggoda Lidah
BACA JUGA:Ayam Goreng Pedas : Hidangan Favorit Nusantara Yang Menggoda Lidah
Mereka mencampurkan bahan-bahan tersebut dengan kimchi, gochujang, dan sayuran lokal, menghasilkan semangkuk sup yang gurih, pedas, dan mengenyangkan.
Karena itulah, Budae Jjigae sering disebut sebagai simbol survival food — makanan yang lahir dari keterbatasan, namun berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner Korea modern.
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi Korea Selatan sejak 1980-an, makanan-makanan berbasis “barat” seperti sosis dan keju tidak lagi dianggap langka.
Namun, Budae Jjigae justru tetap bertahan dan bahkan tumbuh menjadi salah satu makanan paling dicari, baik oleh generasi muda Korea maupun wisatawan mancanegara.
BACA JUGA:MI CHILI OIL : Sensasi Pedas yang Menggoda, Produk Mi Instan Viral Asli Indonesia
BACA JUGA:Mie Gacoan : Strategi Jitu di Balik Kesuksesan Kuliner Pedas Kekinian
Kini, restoran-restoran khusus Budae Jjigae dapat ditemukan di seluruh Korea Selatan, mulai dari warung sederhana di Uijeongbu hingga restoran modern di distrik mewah seperti Gangnam, Seoul.
Bahkan, beberapa restoran menyajikannya dalam panci besar di atas kompor portable langsung di atas meja, memungkinkan pelanggan untuk memasak dan menyesuaikan rasa sesuai selera masing-masing.
“Budae Jjigae itu comfort food bagi saya,” ujar Kim Min-ji, mahasiswi asal Busan yang sedang kuliah di Seoul.
“Rasanya kaya, hangat, dan selalu mengingatkan saya pada makan malam bersama keluarga saat musim dingin.”
Tak hanya di Korea, restoran Korea di berbagai belahan dunia — seperti Amerika Serikat, Indonesia, Malaysia, dan Australia — kini juga menyediakan Budae Jjigae sebagai menu unggulan.
Fenomena Korean Wave (Hallyu) turut mendorong popularitas hidangan ini ke panggung global.
Meski pada awalnya lahir dari keterpaksaan, Budae Jjigae telah mengalami banyak inovasi.
Beberapa restoran menambahkan bahan-bahan yang lebih premium seperti daging wagyu, udang, bahkan truffle oil untuk memberikan sentuhan modern dan mewah.
Di sisi lain, gerakan hidup sehat juga memunculkan versi “Budae Jjigae organik”, di mana bahan-bahan seperti spam diganti dengan versi rendah sodium atau vegan.
Chef Park Ji-hoon, pemilik restoran fusion di Itaewon, Seoul, mengatakan bahwa fleksibilitas Budae Jjigae membuatnya sangat mudah disesuaikan dengan tren masa kini.
“Saya pernah membuat versi vegan dengan tahu, jamur shitake, dan saus gochujang fermentasi alami.
Rasanya tetap otentik, tapi bisa dinikmati semua orang, termasuk mereka yang memiliki batasan diet,” ujarnya.
Meski kini populer, Budae Jjigae sempat mengalami perdebatan identitas di kalangan masyarakat Korea.
Beberapa menganggapnya bukan masakan “asli” Korea karena menggunakan bahan-bahan impor dari Barat.
Namun, pandangan ini perlahan berubah, terutama karena generasi muda lebih melihatnya sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa.
“Budae Jjigae adalah saksi bisu perjuangan rakyat Korea. Dari keterbatasan, muncul kreativitas.
Dari krisis, muncul budaya baru,” ujar Profesor Han Yeong-soo, sejarawan kuliner dari Universitas Nasional Seoul.
Budae Jjigae bukan sekadar makanan. Ia adalah representasi dari sejarah, perjuangan, dan transformasi masyarakat Korea dalam menghadapi masa-masa sulit.
Dari sisa-sisa makanan perang, kini ia menjelma menjadi hidangan kebanggaan nasional yang mendunia.
Bagi siapa pun yang ingin mencicipi sejumput sejarah Korea dalam satu suapan, semangkuk panas Budae Jjigae adalah jawabannya — hangat, kaya rasa, dan penuh makna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: